Malam sebelum ia mengukir nisan, Tan Kim Hok bermimpi bertemu dengan seorang lelaki jangkung. Dilihat dari warna kulitnya, ia tentu bukan Belanda totok. Tapi bola matanya biru tajam dan pakaiannya seperti orang Eropa umumnya, kecuali kakinya yang tak bersepatu. Lelaki itu mengajaknya ke salah satu kanal. Berhenti di tepi kanal, ia tudingkan jari telunjuknya ke arah tumpukan sampah dan lumpur menggunung, lalat-lalat yang beterbangan di sekitar sampah dan aroma busuk yang memualkan perut.
Kiranya matamu terbuka. Dia tidak meninggal karena lumpur dan sampah kanal ini, penyakit malaria, kolera atau sampar. Tidak! Sungguh, dia seorang perempuan halus dan religius. Penyakit tak akan tega mendatanginya, tak mau menyentuh kulit dan bagian dalam tubuhnya. Kiranya matamu terbuka,” katanya berulang-ulang bagai orang linglung.
Tan Kim Hok tak mengerti apa maksud lelaki itu. Ia yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Tapi ajakan lelaki itu bagai tarikan magnet, ia terbawa tanpa perlawanan sedikit pun. Belum pula pikiran menguasai dirinya, tanpa pamit lelaki itu pergi. Tan Kim Hok terbengong memandang punggung laki-laki itu, dan seolah melihat dua sayap mengembang, berkepak-kepak lembut, makin mempercepat langkahnya. Kesiur angin menampar mukanya. Dari tempatnya berdiri, hidungnya mencium aroma aneh, semacam uap amis dari racun binatang mati atau upas tetumbuhan. Dalam ketakjuban semacam itu, Kim Hok lupa ia sedang berdiri di tepian kanal penyebar penyakit yang telah makan banyak korban. Ia mengikuti bayangan lelaki itu sampai hilang sebelum akhirnya tergeragap bangun.
Dipandangnya kini bakal nisan untuk perempuan saleh yang beberapa hari lalu telah mangkat itu. Joff Judit Barra Van Amsteldam, sebuah nama cantik, seanggun penyandangnya. Seluruh Batavia mengenalnya karena setiap minggu ia rajin ke gereja, menjadi anggota paduan suara dan terkenal karena rendanya yang amat bagus dan halus. Leher panjangnya banyak dikagumi orang, mirip angsa putih berhiaskan kalung mutiara dari Banda. Kim Hok menyentuh ukiran huruf-huruf pada nisan itu, dan membaca sekali lagi, mencermati apakah sudah tepat ia mengukirkannya ataukah masih perlu dirubah. ”Cristus is mijn opstanding.”
Setelah sempat sepi pemesanan nisan sejak lima tahun lalu, sekarang kembali ia menangguk untung besar. Kanal-kanal dipenuhi lumpur dan sampah, menciptakan pemandangan dan aroma tak sedap. Wabah penyakit menyerang seperti amukan setan, menumbangkan orang-orang ke liang kubur. Beberapa bulan ini orang-orang mulai menyebut- nyebut Batavia dengan julukan aneh, Het graf der Hollanders, kuburan orang-orang Belanda. Tuan Gubernur sampai-sampai membuat lokasi pemakaman tambahan di Nieuw Hollandsche Kerk dan Jassenskerk.
Istri Tuan Gubernur sendiri kini menjadi korban berikutnya, meskipun ia ragu apakah kematiannya karena air dan kanal-kanal sungai di Batavia atau oleh sebab lain.
”Barangkali suatu saat kau akan bangkit untuk menjelaskan sebab kematianmu, Nyonya,” pikirnya.
Sore hampir turun. Sebentar lagi Agustus akan benar-benar mengeringkan kanal-kanal di Batavia. Udara terasa sejuk. Ia duduk di depan rumahnya, menunggu pesuruh Gubernur jenderal datang mengambil pesanannya. Ia telah bersiap-siap seandainya ditanya kenapa ada gambar tengkorak dan tulang bersilang pada nisan. Bukankah dia sendiri yang mengabarkan ke seluruh Batavia bahwa istrinya meninggal akibat wabah penyakit yang diakibatkan oleh kanal-kanal yang biasa dilewati istrinya ketika sedang ke gereja? Dan siapa yang tak mengenalnya sebagai pengukir nisan paling bagus di Batavia ini. Sembarang alasan yang dibuatnya akan dipercaya orang.
Lagipula Tuan Gubernur tak mungkin menanyakannya. Pikiran lelaki tinggi besar dan berkumis tebal itu sedang terarah ke wilayah Celebes Utara, persiapan besar-besaran pertempuran anak buahnya dengan Spanyol. Sementara itu, Mooi-mooi Belanda kesukaannya akan lebih menyibukkan dia. Apalagi setelah istrinya meninggal.
”Ia akan berpikir perang dan perang, dan para perempuan berpaha lembut serta berpayudara besar. Tak akan lagi dia peduli apakah nisan istrinya diberi gambar tengkorak kepala ataukah binatang simbol kesetiaan.”
Orang-orang di Batavia tahu benar keahliannya. Dialah satu- satunya pembuat nisan yang paham ilmu Heraldik. Keluar dari garis keluarganya yang kebanyakan menjadi tabib, ia hidup dari kematian orang lain. Ia sadar kenapa Thian memberikan keahlian mengukir nisan.
”Untuk menjelaskan harapan orang-orang mati dan memberikan petunjuk bagi anak cucunya seperti apakah keturunan mereka di masa lalu,” kata Ban Sing Hwat, lelaki kurus yang mengajarinya mengukir nisan.
Kini ia tidak sekadar mengikuti pakem Heraldik, karena tersembul sedikit keinginan dalam hatinya agar suatu saat orang ingin tahu sebab musabab kematian Nyonya Gubernur ini, misteri yang diberitahukan oleh lelaki aneh dalam mimpinya.
Suatu hari, setelah musim hujan panjang di Batavia yang membuat kanal-kanal meluap, ia bertemu dengan Nyonya Judith Barra. Ia bertabik hormat padanya. Jika tidak berbuat demikian, opsir-opsir pengawal akan menendangnya ke air di bawah kanal.
”Kebahagiaan untukmu Nyonya. Apakah Anda akan ke gereja di pagi cerah ini?”
”Kaukah pembuat nisan tersohor itu? Belum tua benar seperti yang kubayangkan sebelumnya.”
”Berkat doa Nyonya di gereja.”
”Kau pemeluk Kristen sepertiku?”
”Tidak, Nyonya. Saya pemeluk Tao.”
Ia tidak berkomentar apa-apa. Seluruh Batavia ini tahu suaminya menerapkan peraturan aneh tentang peribadatan. Pelaksanaan ibadah agama selain Kristen Calvinis di ”Kerajaan Batavia” dilarang, paling tidak akan dihukum dengan menyita alat-alat peribadatannya. Orang-orang Cina dan pemeluk Islam dipersulit dalam beribadah. Satu tahun lalu, dipimpin Letnan Coa Sin Cu, teman-temannya diam-diam membangun kelenteng di luar kota. Namun, beberapa di antara mereka malah dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal terjangkit penyakit kolera. Bangunannya dihancurkan dan tanahnya disita.
”Tapi kau bisa mengukirkan kalimat-kalimat dari kitab suci dalam nisan. Apakah kau juga belajar Injil?” tanyanya dengan senyum santun.
“Tentu saja Nyonya. Saya menyukai semua kitab suci. Semuanya memberikan saya kedamaian.”
Ia mengangguk.
”Tapi Injillah yang paling benar menyuarakan kebenaran,” gumamnya sembari pergi.
Sepotong percakapan pendek di bulan April itu membuatnya terkesan. Setelah Batavia diserang tentara Agung 16 tahun lalu, tak ada lagi masa-masa damai seperti sekarang. Sayang wabah penyakit bergentayangan tak mengenal mata. Ia memang tak lagi dipenuhi pesanan sebanyak lima tahun lalu, ketika para pembesar VOC beramai-ramai memesan nisan berukir yang meninggal akibat perang ataupun sakit. Kebanyakan di antara mereka meminta ukiran sepasang senapan, topi baja, dan gambar binatang seperti merpati, anjing, babi, dan elang. Kaum perempuan biasanya meminta digambar burung merpati sebagai lambang kesetiaan.
Bila sekarang ia tak menggambari nisan Nyonya Gubernur dengan sepasang burung merpati, ia pun bingung kenapa tak berhasrat menggambarkan sepasang merpati di nisan itu.
Ia ingat gumaman Nyonya Gubernur itu sebelum meninggalkannya,
”Jesus is mijn opstanding.”
Di tengah kelesuan dan lamunannya, Kim Hok teringat kembali dengan mimpinya semalam. Kesadaran baru merasuk ke alam pikirannya yang tengah mengembara ke mana-mana. Benarkah Nyonya itu diracun? Ia tak melihat jelas tubuhnya sebelum dikuburkan. Namun, kenapa ia begitu berhasrat menggambar simbol racun itu di nisan? Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan kemungkinan buruk itu.
Dari jauh ia melihat opsir Kompeni tergesa-gesa berjalan ke arahnya.
”Apakah pesanan tuan Gubernur sudah jadi?” tanya opsir itu tanpa memberikan salam terlebih dahulu. Ia mengarahkan pandangan ke nisan yang disandarkan di dinding rumah. Opsir itu mendekat dan mengamatinya dengan lagak seorang seniman.
”Kenapa tak beri gambar binatang pada nisannya? Bukankah sudah menjadi kebiasaan perempuan bermartabat mendapatkan penghormatan dengan simbol merpati sebagai tanda kesetiaan? Dan apakah ini? Kenapa kau beri gambar begini mengerikan?”
Kim Hok tergelak dalam hati melihat polah tingkah opsir muda itu. Ia mendekat dan menerangkan isi hatinya.
”Tuan Gubernur sendiri telah menyerahkan seluruh keputusan pembuatan nisan itu padaku. Harap Tuan mengerti, aku telah memberikan tanda-tanda lebih terhormat berupa hiasan monumental seperti inskripsi kesukaan Mevrouw, hiasan perang layaknya kaum ksatria. Inilah gambaran kaum bermartabat, Tuan. Adapun gambar tengkorak itu, mohonlah kiranya Tuan pahami sebagai tanda perhatian seluruh penduduk Batavia pada penyakit yang kini banyak menyerang. Dia meninggal karena penyakit dari kanal-kanal itu bukan?”
Opsir itu mengangguk-angguk. Kini dipandangnya Kim Hok dengan saksama dan menyelidik.
”Apakah kau mencurigai perihal meninggalnya Mevrouw Gubernur?”
Kim Hok menggeleng. Dalam kepalanya melintas bayangan lelaki yang membawanya ke tepian kanal. Potongan tubuhnya hampir mirip dengan opsir muda ini.
”Dia seorang perempuan saleh dan baik hati. Sayang, meninggal terlalu cepat. Barangkali itulah yang diinginkan Tuhan, mengambil lebih cepat orang-orang baik dan saleh di dunia ini agar mereka tidak dikotori oleh banyak dosa,” gumam opsir itu seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
”Tentu saja, Tuan. Tidak ada perempuan yang paling baik selain Mevrouw-Mevrouw Belanda. Mereka ditakdirkan menjadi kaum yang sangat bahagia, saleh, dan mencintai seni dan kerajinan. Saya sering terheran-heran bagaimana mereka bisa membuat renda amat bagus, menyiapkan tempat tidur nyaman dan beraroma wangi, menghiasi dinding- dinding rumah dengan lukisan-lukisan indah. Kabarnya anak kecil tak boleh bermain di dalam rumah, Tuan. Dan Mevrouw Gubernur, adalah yang utama di antara perempuan Belanda,” kata Kim Hok memuji.
”Begitulah kami bangsa Belanda. Lain dengan kaum pribumi dan bangsa kuning macam kalian. Sayang Tuan, ah, apa harus kubilang untuk Nyonya itu. Dia terlalu menderita. Tuan Carel terlalu lemah pada mooi-mooi cantik di Batavia ini. Meskipun tetap menunjukkan diri sebagai perempuan bermartabat, ia sangat menderita.”
”Bagaimana Tuan bisa berkata demikian?” tanya Kim Hok ingin tahu.
”Tidak, Tuan. Saya tidak akan mengatakannya. Aku seorang opsir biasa, aku tak ingin menghancurkan martabat Tuan Gubernur. Sungguh, gambar tengkorak dan dua tulang ini membuatku takut. Aku harap Tuan Gubernur tidak akan murka. Akan kubawa pulang, Tuan. Selamat jalan,” katanya sembari memanggul nisan itu ke arah kereta yang ia bawa.
Tan Kim Hok memandangi punggung lelaki itu sampai jauh, membayangkan apakah dari punggungnya keluar sayap seperti kejadian dalam mimpi semalam. Ia mengelus bulu kuduknya.
Di antara sampah dan lumpur menggunung di salah satu kanal, sebuah tubuh teronggok penuh luka, dirubung lalat-lalat hijau yang berbiak setiap musim kemarau. Seorang anak lelaki Belanda yang pertama melihatnya berlari sambil menjerit-jerit seperti dikejar hantu. Tak lama kemudian, seluruh penduduk sekitar permukiman itu geger oleh mayat yang dibuang di kanal tersebut.
”Orang Tionghoa dibunuh, dan dilempar ke kanal, menjadi makanan lalat dan serangga,” orang- orang menyebarkan berita itu dari mulut ke mulut ke seluruh Batavia. Beberapa lelaki Tionghoa segera turun tangan dan memeriksa siapa gerangan orang yang meninggal itu.
”Dia si pengukir nisan, Tan Kim Hok,” kata salah seorang yang mengenalnya.
Kabar kematian Kim Hok menjadi buah bibir kaum Batavia selama berminggu-minggu. Mereka bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan sang pengukir nisan meninggal, mengapa ia dibunuh dan oleh siapa ia dibunuh. Sayangnya, teka-teki pembunuhan itu tetap tak terjawab.
”Ia tak akan bangkit dari kuburnya, untuk menjelaskan kematiannya sendiri,” gumam orang-orang ketika memungkasi teka-teki pembunuhan si pengukir nisan itu. (*v*)
Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
29 Maret 2011
Kisah Suster Jepang Korban Tsunami
Bencana gempa bumi dan tsunami Jepang meninggalkan luka yang dalam bagi para penduduknya. Tak terkecuali seorang suster yang mengaku sering dihantui teriakkan pasiennya yang tidak terselamatkan.
Suster itu adalah Fumiko Suzuki yang bertugas di rumah sakit Takata, Kota Rikuzentakata, Prefektur Iwate, salah satu kota terparah tertimpa tsunami. Rumah sakit ini sendiri diabaikan karena kerusakan yang parah.
Seperti dikisahkan di laman CNN, Senin, 28 Maret 2011, Suzuki mengatakan bahwa dia kerap mendengar suara-suara teriakan para pasien yang tidak dapat diselamatkannya. Beberapa dari pasien, ujar Suzuki, adalah para manula yang sudah tidak dapat berjalan.
"Saya mendengar seseorang berteriak 'bibi, saya tidak bisa menyelamatkanmu. Maafkan saya'. Lalu dia lari keluar ruangan," ujar Suzuki.
Saat kejadian, Suzuki mengatakan gelombang tsunami terlihat setinggi empat lantai rumah sakit. Suzuki mengatakan bahwa dia terpaksa meninggalkan pasien.
"Maafkan saya," ujar Suzuki kepada pasiennya sebelum lari menyelamatkan diri.
Tindakan Suzuki ini dilakukannya lantaran tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan nyawanya selain lari dan meninggalkan pasiennya.
"Jika saya menyelamatkan mereka yang terbaring di tempat tidur, saya juga pasti akan tewas," ujarnya. "Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidup saya," Suzuki menambahkan.
Seperti kebanyakan warga lainnya, Suzuki juga kehilangan tempat tinggal, keluarga dan teman-temannya
akibat tsunami. Untuk mengatasi rasa bersalahnya dan menghilangkan suara-suara yang menghantuinya, Suzuki bertekad tetap mengabdikan dirinya untuk para pasien.
"Apapun situasinya, saya akan tetap tinggal. Berbicara dengan para pasien adalah obat saya. Saya merasa bukan hanya saya yang merawat mereka, tapi saya juga merasa dirawat oleh mereka," ujarnya.
Gempa berkekuatan 9 skala Richter disusul gelombang tsunami menghantam rumah sakit tersebut. Hampir semua lantai dipenuhi air laut. Semuanya hancur, lumpur tebal masih terlihat di setiap lantai rumah sakit.
Dari 51 pasien di rumah sakit tersebut, para dokter dan suster terpaksa meninggalkan 12 pasiennya yang sulit dipindahkan dari tempat tidur. Salah satu dokter, Mikihito Ishiki, mengatakan satu orang pasien tewas saat suster memindahkannya ke atap rumah sakit. "10 Dari suster juga tewas ketika menyelamatkan pasien," ujar Ishiki. (umi)
• VIVAnews Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
28 Maret 2011
Marseille juara liga champion??
Ini lah cerita tentang bagaimana marseille juara liga champion?
MIMPI buruk menimpa klub Olimpique Marseille, Perancis. Persatuan Sepak Bola Eropa (UEFA), Senin pekan silam, melarang juara Piala Champion 1993 itu ikut kompetisi tahun depan. Ini buntut skandal suap Marseille pada tiga pemain Valencienne, tiga bulan lampau. ''Skandal itu merusak citra sepak bola,'' kata Lennart Johansson, Presiden UEFA. Maka, penggemar Marseille marah. Selasa pekan lalu, mereka turun di jalan utama Kota Marseille, seakan tak percaya. ''Satu-satunya kebanggaan kita telah dirampas,'' kata seorang pelaut. Inilah klub Perancis pertama yang merebut Piala Champion. ''Sekarang kita tak punya apa-apa lagi,'' isak seorang remaja di Kota Marseille. Isu suap itu muncul setelah Marseille menggebuk Valencienne, 1-0, pada 20 Mei lalu. Adalah Jacques Glassmann, pemain belakang Valencienne, yang mengaku disuap bersama Christope Robert dan Jorge Burruchaga. Mereka masing-masing menerima uang sebesar 250 ribu franc atau sekitar Rp 100 juta. Menurut Glassmann, perantara penyuapan adalah Jean Jacques Eydelie, pemain Marseille. Pengakuan tidak resmi (karena belum disigi) itu sengaja diredam Federasi Sepak Bola Perancis (FFF). Maksudnya, agar konsentrasi tim Marseille yang akan bertarung dengan AC Milan, Italia, tidak buyar. Benar saja. Marseille mampu menekuk AC Milan 1-0, pada 26 Mei. Dan besoknya, Presiden Liga Perancis, Noel Le Graet, baru memerintahkan penyidikan. Jaksa Eric De Montgolfier pun menyidik, awal Juni lalu. Temuan tim penyidik itu makin memperjelas kasus suap Marseille. Robert mengaku menerima suap, setelah istrinya buka mulut. ''Saya mengumpulkan uang panas tersebut,'' katanya. Uang haram itu terbungkus koran, ditanam di kebun milik bibi Robert. Dari sini, peran Eydelie sebagai perantara pun terbongkar. Ia menunjuk Jean Pierre Bernes sebagai biang suap. Maka, Bernes, orang nomor tiga di Marseille, diperiksa dan ditahan, awal Juli lalu. Tapi Bernard Tapie, pemilik Marseille, yang dikenal sebagai politikus cerdik, tak tinggal diam. Berkat lobinya di sana-sini, Tapie berhasil meloloskan Bernes dari tuduhan suap. Bernes pun dilepas, dan kasusnya tersendat. Tapi FIFA, yang geram melihat lambatnya penyelesaian kasus suap itu, mengancam FFF. Isinya, jika sampai 23 September ini kasus tersebut tidak tuntas, semua klub di Perancis dilarang ikut dalam kompetisi sepak bola internasional. Sebelum sanksi itu jatuh, pada 6 September lalu, UEFA bertindak: melarang Marseille ikut dalam kompetisi Piala Champion 1994, yang dimulai pekan ini. Selain itu, UEFA meminta FFF menunjuk pengganti Marseille. Tapi Paris St. Germain, juara kedua Liga Perancis, dan Bordeaux, juara keempat, menolak tawaran itu. ''Kami tak mau menari di atas bangkai orang lain,'' ujar Alain Afflelou, Presiden Bordeaux. Monaco, juara ketiga Liga Perancis, yang semula enggan menggantikan Marseille, belakangan menyatakan siap tampil. Ternyata Tapie tidak menyerah. Segera setelah pengumuman UEFA, ia menggugat balik UEFA lewat pengadilan Swiss, tempat UEFA bermarkas. Hasilnya, Kamis pekan lalu, Pengadilan Distrik Bern meminta agar UEFA menunda keputusannya dan mengizinkan Marseille ikut kompetisi. Rupanya, pembangkangan Tapie menggusarkan FIFA. Kabarnya, FIFA mengancam akan memberikan sanksi disiplin pada kesebelasan nasional Perancis dalam semua kejuaraan internasional jika Tapie tetap ngotot menuntut. Karena itu, Presiden Liga Sepak Bola Perancis, Noel Le Graet, mengirim surat kepada Tapie agar bos Marseille itu menarik kembali tuntutannya. Posisi Tapie pun menjadi serbasulit. Ia bak menghadapi buah simalakama. Menarik kembali tuntutannya berarti nama Marseille hancur, dan klub ini bisa rugi Rp 50 miliar. Kalau tetap berperkara, persepakbolaan Perancis bakal dikucilkan. Bagaimana Tapie akan berkelit? Bambang Sujatmoko dan Asbari N. Krisna (Belanda) Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Main Bola di Tengah Pertempuran Perang Dunia
Pada malam natal 1915, di desa Laventie di utara Prancis, dua kubu serdadu dari Inggris dan Jerman yang saling berhadapan dalam jarak dekat mendekam di parit pertahanannya masing-masing. Tak ada pohon natal, tak ada kalkun panggang. Lantas terjadilah satu selingan pendek yang menyentuh dalam lembaran sejarah Perang Dunia I itu: salah seorang dari mereka -- dengan suara lirih-- menyanyikan lagu natal, lalu ada yang iseng menyapa. Lalu, ya, lalu... mereka semua bermain bola!
Bertie Felstead, serdadu Inggris sekaligus saksi mata peristiwa yang masih sempat merasakan udara abad-21, memberi kesaksian yang menyentuh. Katanya,
"Kami dipisahkan oleh jarak yang hanya sekitar 100 yard saat pagi hari Natal itu tiba. Seorang serdadu Jerman menyanyikan lagu All Through the Night, lalu para serdadu Inggris membalasnya dengan manyanyikan lagi Good King Wencelas. Pagi berikutnya, para serdadu saling menyapa. Hello Tommy... Hello Fritz. Serdadu Jerman yang memulai, mereka keluar dari paritnya dan berjalan menghampiri kami. Tak ada yang memerintahkan, tapi kami semua memanjat dinging pembatas dan bergabung dengan mereka. Beberapa dari mereka menghisap cerutu sekaligus menawari kami cerutu. Kami juga menawarkan sebagian dari yang kami miliki. Lalu kami mengobrol. Kami berbicara dengan bahasa campur aduk. Ada yang bicara dalam Inggris, Jerman, dan Prancis... sisanya dengan bahasa isyarat. Kami semua tidak takut ditembak karena kami semua telanjur berbaur satu sama lain."
Felstead tidak terlalu ingat lagi bagaimana bola yang dimainkan itu muncul. Tiba-tiba saja semua sudah berebutan bola. Ini bukan jenis pertandingan normal seperangkat peraturan resmi yang ditaati satu sama lain. Mereka bermain begitu saja. "Saya masih ingat bagaimana salju teracak-acak. Tidak ada yang menjaga gawang," kenang Felstead yang wafat pada 22 Juli 2001. Kenang Felstead, permainan sepakbola di antara dua kubu yang berseteru itu berlangsung hanya sekitar 30 menit.
Lalu muncul suatu hiruk pikuk di antara mereka, disusul teriakan keras dari seorang perwira Inggris -- ya, teriakan yang sangat keras dalam pengertian denotasi maupun konotoasi: "'You came out to fight the Huns, not to make friends with them."
Ini bukan satu-satunya "gencatan senjata spontan" antara Jerman dan Inggris pada Perang Dunia I. Pada 24 Desember 1914, terjadi "gencatan senjata ilegal" di sekitar Ypres, Belgia. Lagi-lagi tentara Jerman yang memulai dengan mendekorasi façade parit perlindungan mereka dengan memasang lilin-lilin sembari menyanyikan lagu-lagu natal (adakah yang lebih puitis dari ini dalam adegan perang yang sesungguhnya, kawan?). Pihak Inggris menanggapinya dengan menyanyikan lagu-lagu mereka sendiri. Lalu satu sama lain saling mengucapkan salam natal. Tak hanya itu, satu sama lain lantas bertukar hadiah natal: ada yang berupa makanan kecil, cerutu, alkohol dan beberapa souvenir kecil seperti topi.
Gencatan serupa juga terjadi di beberapa tempat, beberapa bahkan berlanjut hingga momen perayaan tahun baru. Akhirnya kabar itu pun sampai ke telinga Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien, komandan pasukan British Corps II. Dia bukan hanya marah, tapi juga mengeluarkan perintah yang melarang segala jenis komunikasi yang berlangsung secara ilegal dengan pihak Jerman.
Tapi setiap Jenderal memang tak mungkin bisa menjangkau dan mendengar suara hati para serdadu yang mesti mendekam di parit pertahanannya sepanjang malam di hari natal, saat orang-orang sedang berkumpul di depan perapian bersama keluarga terdekat dengan kalkun panggang yang besar nan lezat, saat musim dingin sedang hebat-hebatnya. Dengarlah bagaimana suasana dan suara hati Felstead saat ia mendengar lagu-lagu natal itu terbantun perlahan: "Mustahil perasaan Anda tidak tersentuh saat mendengarkan satu sama lain saling bernyanyi dalam situasi seperti itu."
Lalu mereka pun berbagi kegembiraan dengan bermain bola, sebelum seorang perwira Inggris berteriak keras: "You came out to fight the Huns, not to make friends with them."
Teriakan itu bukan hanya menghentikan permainan sepakbola, tapi menghempaskan para serdadu ke bumi yang keras dan menuntut terlalu banyak itu, mengkandaskan kegembiraan sederhana yang baru mereka nikmati hanya selama 30 menit itu. Pada akhirnya, mereka kembali ke parit pertahanannya masing-masing, kembali tiarap dan mengokang senjata dan menanti aba-aba untuk segera menghamburkan kembali peluru ke arah orang-orang yang beberapa waktu sebelumnya berbagi cerutu dan bermain bola sama-sama dengan mereka.
Teriakan keras tanpa kompromi perwira Inggris itu, juga sikap keras dan tanpa kompromi Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien, adalah bukti tak terbantah bahwa perang tetap saja perang: barangkali dalam perang akan ada - pasti selalu ada -- selingan-selingan pendek yang menyentuh sudut-sudut terdalam kemanusiaan, tapi darah dan kematian toh tetap saja menjadi struktur dan plot utama sebuah peperangan.
Saya teringat kesaksian seorang serdadu Amerika yang terlibat dalam front pertempuran di Eropa pada Perang Dunia ke-2. Seperti yang saya saksikan di serial Band of Brothers, salah seorang dari mereka - kalau tak salah ingat-- kira-kira berkata: ""Mereka (para tentara Jerman itu) dalam banyak hal sama seperti kami. Mereka mungkin senang memancing atau berburu. Tapi mereka melakukan apa yang diperintahkan, seperti halnya saya melakukan apa yang diperintahkan. Dalam situasi bukan peperangan, kami mungkin bisa saling bersahabat."
Tidak, tidak... tidak perlu situasi yang berbeda dari peperangan mereka bisa bersahabat. Dalam peperangan pun, sebenarnya, mereka bisa berteman, setidaknya bisa bermain bola, walau cuma 30 menit. Apa yang terjadi dengan Felstead, dkk., di pelosok desa Laventie menunjukkan bahwa itu bukan hal yang mustahil, setidaknya sejarah pernah mencatatnya, kendati barangkali hanya sekali. Karena orang memang tak perlu apa-apa untuk bermain bola, tak perlu senjata, senapan, uang atau apa pun. Felstead sendiri - yang pada November 1998 mendapat lencana mengaku tidak banyak berpikir ketika ikut menendang-nendang bola pada natal yang tak biasa itu. Ia hanya bilang, "Saya ikut bermain karena saya memang sangat menyukai sepakbola."
Ya, menyukai sepakbola, sebab tak perlu banyak alasan bagi seorang pecinta sepakbola jika ada bola di depannya selain menendangnya. Seperti kata Socrates, ini bukan Socrates yang filsuf itu tapi kapten timnas Brazil di Piala Dunia 1986, "Kau hanya perlu bola, hanya perlu sebuah saja..."
Maka bermainlah Felstead, karena toh setiap manusia sebenarnya - seperti dengan meyakinkan dipaparkan oleh Johan Huizinga dalam bukunya yang terkenal, Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture-- adalah mahluk yang bermain, homo ludens.
Peperangan adalah versi lain dari permainan. Sedihnya, kata Huizinga di halaman 201 bukunya itu, peperangan modern yang mengambil bentuk total-war telah terjerumus ke dalam "...old agonistic attitude of playing at war for the sake of prestige and glory." Inilah yang menyebabkan Huizinga, pada halaman 90 buku yang sama, menyebut bahwa peperangan modern "telah memadamkan sisa-sisa terakhir elemen permainan" ("extinguish the last vestige of the play-element").
Felstead, dkk., mencoba menyalakan kembali sisa-sisa elemen permainan dalam peperangan itu, tapi upaya itu terlalu rapuh, dan langsung rontok oleh satu teriakan: "'You came out to fight the Huns, not to make friends with them!"
Apa boleh buat.... Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Spanyol = Barcelona + Real Madrid?
Fernando Llorente seperti 'kurcaci' di tengah nama besar pemain Spanyol lainnya. Namun justru dialah yang menjadi penyelamat muka Spanyol ketika melawan Arab Saudi tadi malam.
Fernando Llorente hanya memperkuat Athletic Bilbao, klub yang telah dibelanya sejak mulai bermain sepakbola. Athletic Bilbao dan Fernando Llorente mungkin adalah dua hal yang sangat jarang masyarakat Indonesia kenal. Wajar saja, Liga Spanyol beberapa tahun terakhir memang identik dengan dua klub saja: Real Madrid dan Barcelona. Ditambah beberapa klub yang satu level dibawahnya, seperti Sevilla, Villareal dan Valencia. Yang lain? Mungkin bisa dianggap penghibur. Karena itu pula banyak kalangan menyebut Liga Spanyol sebagai liga yang membosankan. Kenyataannya memang demikian, dari 79 musim sejak Liga Spanyol digelar, 51 gelar direbut oleh Barcelona dan Real Madrid.
Hal yang sama juga dapat kita lihat di timnas Spanyol. Saat melawan Arab Saudi semalam saja, lima dari 11 pemain Spanyol merupakan pemain Barcelona, yaitu Carles Puyol, Gerard Pique, Sergio Basquet, Andres Iniesta, Xavi Hernandez dan belum lagi ditambah David Villa yang akan bergabung musim depan. Sedangkan Real Madrid menyumbang empat pemain, yaitu Iker Casillas, Sergio Ramos, Arbeloa, dan Xabi Alonso. Satu lagi disumbangkan oleh Valencia, yaitu David Silva, yang rumor terakhir menyebutkan akan segera bergabung dengan Los Merengues musim depan. Jika benar demikian, berarti line-up Spanyol semalam merupakan gabungan dari Barcelona dan Real Madrid!
Ironis?
Yah. Tetapi ternyata skuad gabungan kedua klub terbaik Spanyol tersebut tidak menjamin Spanyol akan menang mudah melawan Arab Saudi. Nyatanya, Arab Saudi justru unggul lebih dahulu lewat tandukan Osama, sebelum disamakan oleh David Villa, juga lewat tandukan. Spanyol akhirnya unggul setelah tendangan keras namun mendatar dari Xabi Alonso menembus gawang Arab Saudi. Namun Arab Saudi kembali menjebol gawang salah satu kiper terbaik dunia, Iker Casillas lewat gol pantul yang dicatat oleh panitia pertandingan sebagai gol dari Al Numare. Teman saya sempat bergurau, "Wah itu golnya gol pantul. Kuasa Allah itu. Allahu Akbar!" Hehehe.. Ada-ada saja.
Vicente Del Bosque kemudian membuat beberapa perubahan dengan memasukan Machena, Jesus Navas, Pedro Rodriguez, dan Fernando Llorente. Harap dicatat bahwa hanya Llorente yang merupakan pemain dari klub yang tidak saya sebutkan di atas. Artinya, jika berbicara tentang nama besar pemain-pemain Spanyol, Fernando Llorente adalah kurcaci dibanding nama-nama terkenal lainnya. Namun apa yang terjadi? Justru striker berusia 25 tahun inilah yang menyelamatkan Spanyol lewat golnya di detik akhir pertandingan. Llorente sukses menanduk bola masuk ke gawang Arab Saudi, memanfaatkan umpan dari sepak pojok.
Secara keseluruhan saya melihat Spanyol, terutama di babak pertama, seperti ingin mengulang sukses Barcelona dengan menggunakan poros Iniesta-Xavi-Basquet di lini tengah, dan berharap dengan kesolidan Puyol dan Pique di lini belakang. Satu-satunya perbedaan hanyalah ketiadaan Messi yang menjadi tumpuan Pep Guardiola dan Barcelona di lini depan.
Yang mungkin membuat fans Barcelona tersenyum lebar adalah klopnya kerja sama Iniesta dan Villa di depan. Hal ini dibuktikan dengan gol pertama Spanyol yang dicetak Villa adalah hasil umpan cantik dari Iniesta. Tanda-tanda Villa akan cepat menyatu di musim depan? Entahlah, tetapi jika keduanya dapat bekerja sama dengan apik di Piala Dunia kali ini, mungkin bukan hanya fans Barcelona yang akan tersenyum senang. Publik Spanyol tentu akan berharap besar kepada keduanya agar membawa mimpi besar mereka untuk menjadi juara dunia terwujud. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Maradona pemain besar. Bukan pelatih besar
6 Agustus 1979, sekitar 15 ribu penonton stadion Omaya, Jepang gemuruh ketika Maradona kembali membobol gawang kesebelasan Indonesia, Sampai akhir wasit Rolando Fusco dari Canada meniup peluit panjang, skor 5 – 0 untuk Argentina. Para pemain Indonesia juga tak peduli atau tertunduk lesu. Mereka justru berebutan berfoto bareng dengan Maradona. Endang Tirtana, Didik Darmadi, Bambang Nurdiansyah, Mundari Karya, yang kelak menjadi tulang punggung PSSI, justru memamerkan wajah wajah sumringah berfoto dengan sang maestro – Diego Maradona.
Sucipto Suntoro setelah bersalaman dengan pelatih Argentina - Cesar Louis Menotti, membiarkan anak anak asuhnya saling rebutan foto bareng. Youth World Cup atau Piala Dunia Junior yang diselenggarakan di Jepang memang cukup memalukan bagi pelatih yang dijuluki ‘ Gareng ‘ itu. Selain digilas Argentina, dalam babak penyisihan group juga di gunduli Polandia dan Yugoslavia, masing masing 6 – 0 dan 5 – 0.
Waktu itu nama Maradona sudah mulai terkenal, disebut sebut sebagai pesepak bola paling berbakat di muka bumi. Pelatih Cesar Louis Menotti mencoretnya dari skuad Argentina di piala dunia 1978 dengan alasan masih terlalu muda – saat itu 18 tahun. Tunggu, masih ada waktu. Tak perduli dengan air mata sang bocah sekaligus menampik permintaan publik yang meminta si anak ajaib bergabung dengan timnas Argentina. Ia memang belum terlalu percaya, selain masih ada bomber bomber mematikan seperti Mario Kempes dan Luque di skuadnya.
Selalu ada masa sulit bagi Maradona untuk memulai startnya di timnas nya sendiri. Tak selalu mulus. Dalam skuad 1982, dalam usia yang masih relatif muda - 22 tahun, sudah menjadi dirigen tim tango, walau sebagian besar masih dihuni skuad 1978, seperti Pasarella, Ardiles dan Kempes.
Ia memang ajaib. Simon Tahamata, pemain Ayax Amsterdam berdarah ambon mengenangnya dalam pertandingan di Zurich ketika ia memperkuat team Eropa melawan team Amerika latin yang diperkuat Maradona.
“ Saya sudah melihat Johan Cruyff dan Pele memainkan bola. Namun mereka tidak bisa seperti Maradona yang dengan mudahnya bisa menggiring bola melewati pemain pemain berkelas lainnya “
Pertandingan pembukaan sebagai juara bertahan antara Argentina melawan Belgia dalam Piala Dunia 1982 di Spanyol menunjukan beban itu terlalu berat bagi Maradona, ketika seluruh dunia memandangnya.
Maradona memang sudah menunjukan sebagai roh timnya. Namun ada satu yang dilupakan, yakni pengalaman dan jam terbang dalam momen akbar seperti Piala Dunia. Belgia yang dipimpin Eric Gerets bisa mementahkan serangan serangan Argentina. Maradona demikian mudahnya frustasi saat tendangan tendangan dapat diblok oleh Jean Marie Pfaf, yang saat itu juga disebut sebut kiper terbaik di Eropa. Hingga gol serangan balik dari Van der Berg membuat Argentina akhirnya tunduk 1- 0 hingga peluit akhir.
Ini belum berakhir. Dalam pertandingan penentuan kelak, melawan rival abadinya Brazil. Tim Argentina dibuat frustasi dengan akrobatik para pemain pemain Brazil seperti Zico yang dijuluki Pele Putih lalu Socrates, Serginho, Junior dan Falcao. Hasil akhir Argentina keok 3 – 1. Maradona , bermain kasar dan tak bisa mengontrol emosinya hingga diusir keluar.
Kartu Merah buat Maradona menghiasi headline pemberitaan. Lebih banyak berita yang menghiasi ini daripada kekalahan Argentina sendiri.
Sekali lagi pengalaman menempa Maradona. Piala Dunia 1986 di Mexico adalah pembuktiannya sebagai pesepak bola besar. Terlepas dari gol ‘ tangan Tuhan ‘, namun gol selanjutnya ke gawang Inggris menunjukan apa yang dikatakan Simon Tahamata beberapa tahun silam benar. Sekian banyak pemain Inggris seperti anak kemarin sore, dengan mudah dilewati Maradona.
Dia menjadi musuh publik dengan segala kontroversinya. Hanya Maradona yang bisa mengemasnya menjadi kesombongan. Dalam Piala Dunia 1990, sekali lagi Argentina tumbang di partai pembukaan melawan Kamerun. Walau bisa melaju sampai final dan tak mampu mempertahankan gelarnya.
Setelah terpuruk dalam dunia narkoba, apakah Maradona bisa bangkit ? Jika dulu dengan kaki ajaibnya apakah ada strategi dan racikan ajaibnya bisa membuat tim Tango menjadi seperti masa masa kejayaannya silam. Tak mustahil kalau melihat materi yang dimiliki sekarang. Siapa bisa meragukan Messi, Higuain , Tevez , Walter Samuel dan lain lain yang malang melintang di liga kelas satu Eropa. Pertanyaannya, apakah Maradona bisa ?
Sejarah membuktikan, beberapa pelatih besar bukan berasal dari pemain sepak bola terkenal. Bahkan sebaliknya, karena menjadi pelatih bukan melulu karena pengalaman di lapangan hijau. Ia juga harus memiliki strategi, visi dan dihormati pemainnya. Strategi Maradona untuk mencoba lebih dekat ke pemain – seperti teman, justru membuat berantakan. Ia terkesan membiarkan pada maunya pemain. Argentina bermain tanpa visi, terseok seok dan nyaris tersingkir di babak penyisihan.
Ia lupa bahwa pemain pemain topnya terbiasa dalam pola, bahkan tangan besi pelatih di klubnya. Mereka memiliki respek dan tak perlu dekat seperti teman terhadap pelatihnya. Mereka hanya pion pion yang terampil yang menjalankan instruksi pelatih.
Sementara Maradona tak pernah bisa mengontrol para pemainnya, karena ia sendiri tak bisa mengontrol emosi terhadap media dan dirinya sendiri. Ia terlihat sebagai anak kecil yang kegirangan – lalu melakukan body diving di lapangan, ketika kesebelasannya mencetak gol.
Semalam, dalam pertandingan melawan Nigeria di Piala Dunia 2010. Walau menang tipis, tetap saja Argentina tidak begitu mumpuni untuk dimasukan sebagai kandidat juara. Trio Messi, Higuain dan Tevez tak punya taji. Bahkan terkesan sendiri sendiri. Sementara Veron yang sudah gaek, cepat kehabisan nafas untuk menyuplai bola bola untuk penyerangnya.
Dalam karir pelatihnya, rupanya Maradona memang harus berkaca dengan karirnya dulu sebagai pemain. Terbiasa dalam kawah candradimuka pertandingan pertandingan berat. Timbul tenggelam sebelum menjadi pemain besar.
Dia memang pemain besar. Namun sebagai pelatih, saya meragukan itu. Dia akan langsung membawa Argentina juara ? ini hil yang mustahal kata almarhum pelawak Timbul.
Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Bola itu Tetap Bundar
Banyak yang kecewa dan bersungut-sungut ketika Inggris hanya bisa bermain imbang dengan Aljazair. Begitu juga ketika Spanyol ditaklukkan Swiss, mulut-mulut makian dan luapan rasa terkejut langsung memenuhi bumi. Bahkan komentataor sepakbola di TV berungkali menyebutkan ini hasil yang mengejutkan banyak orang. Dan terakhir adalah ketika Selandia Baru berhasil menahan Italia dengan skor 1-1.
Ya, Piala Dunia 2010 memang benar-benar tidak bisa diprediksi semudah kita membalikkan tangan. Mungkin hanya Argentina dan Brazil dua tim unggulan yang sudah memastikan lolos dan fase grup. Selebihnya masih ketar-ketir. Pranciz yang dikalahkan oleh Meksiko dua gol tanpa balas pasti seluruh skuadnya tidak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi pada pertandingan selanjutnya melawan tuan rumah Afrika Selatan . begitu juga dengan Inggris yang menakjubkan dalam babak penyisihan namun bermain tanpa semangat di arena sebenarnya.
Lalu apakah ini menegejutkan? Jujur saya agak tidak begitu setuju bila ini dibilang hasil mengejutkan. Karena disana kita akan meremehkan kekuatan dan persiapa yang telah dibangun oleh tim-tim lainnya. Kemenangan Swiss atas Spanyol, begitu juga Meksiko atas Prancis dan berhasilnya Selandia Baru menahan Italia, adalah bukti bahwa permainan mereka telah mencapai tingkat yang baik dan mampu mengimbangi tim-tim unggulan.
Pastinya hasil yang diraih oleh tim-tim underdog bukan melalui jalur ilegal. Mereka meraihnya dengan semangat sportivitas yang tinggi. Berbulan-bulan persiapan. keluar masuknya sejumlah nama dalam proses seleksi, juga peran sang pelatih mempelajari teknik dan taktik bermain lawan yang dihadapi untuk mencari taktik dan strategi yang tepat dalam pertandingan nanti.
Dan pastinya yang harus kita ingat ini adalah piala dunia. Lambing bergengsi pertandingan sepakbola di bumi ini. dimana mata manusia dari seluruh penjuru dunia akan menatap ke satu titik sentral. Juga ketika headline berita baik cetak dan elektronik akan mengabarkan apa yang akan terjadi disana.
Ya, ini adalah masalah gengsi dan kehormatan. Maka sewajarnya seluruh tim yang masuk dan bermain akan menunjukkan kualitas terbaiknya. Mereka pastinya bangga nama negara mereka akan selalu disebut tatkala mampu membuat prestasi yang baik. Bagi para pemain inilah saatnya mereka menunjukkan kemampuan di depan mata para pencari bakat di seluruh dunia, sambil berharap klub besar akan memakai jasanya dan akan meningkatkan penghasilannya.
Jadi, jangan terkejut lagi dan jangan memandang remeh lagi tim-tim yang belum mempunyai tradisi prestasi sepakbola dunia. Jangan melihat mereka sebelah mata, seperti biasanya. Karena ini sekali lagi adalah ajang bagi pemain yang bertanding mengexplore semua yang dimiliki untuk harga diri, prestasi dan pastinya karir mereka sendiri.
Sumber : http://bolaria.com/baca/2010/06/21/dan-bola-itu-tetap-bundar.html
Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Tim Favorit
Saya sering merasa aneh ketika rasa ketertarikan pada sebuah klub sepakbola dipertanyakan oleh fans klub yang berseberangan. Misalnya ketika Madridtista berkata pada pendukung El Catalan, "kenapa sih kok suka Barcelona? Kan pemainnya jelek-jelek." Lalu bisa ditebak yang terjadi kemudian: adu mulut. Debat kusir tanpa ujung. Atau ketika seseorang bertanya kepada saya, "kok suka Arsenal? Padahal kan gak pernah dapat tropi. Menang aja kadang-kadang."
Aneh, karena pertanyaan itu seperti mempertanyakan: "kenapa kamu suka makan jengkol? Padahal kan jengkol bikin nafas bau." Atau, "kenapa kamu suka warna ungu? Padahal kan itu warna gelap. Lebih bagus warna merah."
Sebuah kesukaan pada sesuatu yang kemudian dipertanyakan, menurut saya adalah salah satu hal yang aneh di dunia. Apalagi hal itu menjadi sebuah perdebatan yang tidak jelas ujungnya. Apakah salah menyukai sebuah klub semenjana, misalnya saja Osasuna atau Braga. Sah-sah saja, kan?
Fanatisme sempit terhadap sepakbola yang sering menjadikan orang tidak bisa berpikir panjang. Bahkan tidak jarang hal itu membuat perkelahian yang berujung pada kerusuhan massa, hanya karena sebuah hasil pertandingan sepakbola. Padahal yang salah bukan permainan sepakbolanya, tetapi karena supporternya.
Juga penyebutan nama klub lawan yang tidak etis untuk diucapkan. Seperti MUnyuk, Chelshit, Looserfool, hingga Real Anjrit. Apa susahnya sih menyebut MU, Chelsea, Liverpool, dan Real Madrid? Bukankah jika klub favorit kita disebut dengan tidak hormat, kita juga tidak terima?
Memfavoritkan atau menyukai sebuah klub sepakbola itu pilihan. Itu hak asasi setiap orang. Kenapa terus dipersoalkan?
********/*******
Saya menyukai Real Madrid dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Memang susah mendukung sebuah klub yang selalu kalah dan jarang mendapatkan tropi juara. Tetapi bukankah disitulah ujiannya? Ujian sebuah kesetiaan.
Karena mudah menjadi pendukung klub yang selalu juara. Selalu senang dan bahagia. Itulah sebabnya banyak pendukung klub sepakbola mancanegara yang statusnya sebagai "glory hunter" saja. Yang kalau ditanya mendukung siapa, jawabnya: "mendukung yang menang." Tahun ini menjadi Internisti, tetapi tahun sebelumnya menjadi pendukung Barcelona. Entah mendukung klub mana tahun berikutnya. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Aneh, karena pertanyaan itu seperti mempertanyakan: "kenapa kamu suka makan jengkol? Padahal kan jengkol bikin nafas bau." Atau, "kenapa kamu suka warna ungu? Padahal kan itu warna gelap. Lebih bagus warna merah."
Sebuah kesukaan pada sesuatu yang kemudian dipertanyakan, menurut saya adalah salah satu hal yang aneh di dunia. Apalagi hal itu menjadi sebuah perdebatan yang tidak jelas ujungnya. Apakah salah menyukai sebuah klub semenjana, misalnya saja Osasuna atau Braga. Sah-sah saja, kan?
Fanatisme sempit terhadap sepakbola yang sering menjadikan orang tidak bisa berpikir panjang. Bahkan tidak jarang hal itu membuat perkelahian yang berujung pada kerusuhan massa, hanya karena sebuah hasil pertandingan sepakbola. Padahal yang salah bukan permainan sepakbolanya, tetapi karena supporternya.
Juga penyebutan nama klub lawan yang tidak etis untuk diucapkan. Seperti MUnyuk, Chelshit, Looserfool, hingga Real Anjrit. Apa susahnya sih menyebut MU, Chelsea, Liverpool, dan Real Madrid? Bukankah jika klub favorit kita disebut dengan tidak hormat, kita juga tidak terima?
Memfavoritkan atau menyukai sebuah klub sepakbola itu pilihan. Itu hak asasi setiap orang. Kenapa terus dipersoalkan?
********/*******
Saya menyukai Real Madrid dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Memang susah mendukung sebuah klub yang selalu kalah dan jarang mendapatkan tropi juara. Tetapi bukankah disitulah ujiannya? Ujian sebuah kesetiaan.
Karena mudah menjadi pendukung klub yang selalu juara. Selalu senang dan bahagia. Itulah sebabnya banyak pendukung klub sepakbola mancanegara yang statusnya sebagai "glory hunter" saja. Yang kalau ditanya mendukung siapa, jawabnya: "mendukung yang menang." Tahun ini menjadi Internisti, tetapi tahun sebelumnya menjadi pendukung Barcelona. Entah mendukung klub mana tahun berikutnya. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Rasis dalam sepak bola
Salah satu musuh sepakbola yang paling abadi adalah rasisme. Bahkan pengelola kompetisi harus menggalang banyak aksi dan aturan untuk menghapusnya. Slogan Let's Kick Racism Out of Football paling populer dan mudah terlihat di seantero lapangan hijau.
Tapi makin jauh program itu berjalan, semakin panjang pula daftar pelecehan atas nama ras yang terjadi. Italia, Serbia, Spanyol dan Prancis adalah tempat di mana rasisme masih sangat subur. Sasarannya adalah mereka yang berkulit hitam.
Tapi konon modus operandi belakangan ini bukan lagi atas dasar rasisme semata. Suporter melakukan pelecehan ras atas dasar kebencian pada pemain lawan dan juga untuk mengganggu fokusnya bermain. Kebetulan mereka yang dilecehkan adalah pilar penting tim.
Musim lalu, suporter Madrid rajin menghina pemain berkulit hitam yang mengunjungi Santiago Bernabeu. Anehnya, El Real juga punya pemain berkulit hitam.
Musim ini, pendukung Juventus sudah dua kali menghina striker Italia dan Inter Milan, Mario Balotelli, walau tidak sedang menghadapi Inter. Slogan nyanyian mereka memang bernada rasis; "Tak ada orang Italia berkulit
hitam." Sebuah perlawanan terhadap status Balotelli yang lahir di Palermo dari pasangan imigran asal Ghana.
Uniknya, di Juventus pun ada pemain berkulit hitam yang kebetulan bukan orang Italia -- Momo Sissoko.
Tiga musim lalu, pendukung Inter juga melakukan hal tak terpuji. Mereka melecehkan bintang Messina asal Pantai Gading, Marc Zoro. Bahkan Zoro nyaris akan meninggalkan lapangan dengan cucuran air mata. Tragis sekali karena di kubu Inter masih ada sosok pemain berkulit hitam asal Brasil, Adriano.
Italia memang salah satu negeri dengan tingkat rasisme tertinggi di dunia. Perlakuan berbeda bukan cuma dialami oleh mereka yang berkulit gelap. Gelandang Juventus Mauro Camoranesi yang kelahiran Argentina pun kerap menjadi korban rasis meski tidak di atas lapangan. Padahal Camoranesi merupakan keturunan Italia (lihat nama marganya!) dan pemain nasional Italia (dari proses naturalisasi).
Dari berbagai kasus itu, maka pengamat semakin yakin bahwa pelecehan di dalam stadion hanya bermotifkan kebencian terhadap pemain lawan dan sekaligus menganggu permainannya. Bagaimana mungkin mereka menghina pemain berkulit hitam di kubu lawan sementara di tim sendiri juga ada pemain berwarna kulit yang sama.
Motif ini pula yang pernah dipakai oleh kapten Persik Kediri, Haryanto, ketika menghina pemain asing yang menjadi lawannya. Kepada komisi disiplin, Haryanto membantah telah melakukan pelecehan rasialis. Tapi kepada wartawan yang menunggunya di depan kantor PSSI, dia mengakui tindakannya bukan serta merta rasis.
"Aku mangkel, mas. Susah banget jaganya, ya sudah sekalian aku hina. Tapi itu cuma kekesalan biasa, bukan rasis. Wong di timku juga ada pemain hitam kok," katanya dalam bahasa Jawa yang medok.
Sepakbola hanyalah satu panggung dari fragmen kehidupan lainnya. Lapangan sepakbola juga bisa menjadi sebuah transformasi kehidupan. Seperti yang terjadi di Italia. Apa yang ada di luar lapangan, bisa juga terjadi di dalam lapangan.
FIFA, UEFA dan berbagai pengelola sepakbola terus menerus melakukan tindakan preventif. Yang paling keras adalah menghentikan pertandingan atau mencoret klub (yang pendukungnya melakukan pelecehan rasis) dari kompetisi.
Tapi ini belum pernah terjadi. Meski suara pelecehan suporter menggema di dalam stadion, wasit bergeming. Mungkin saja wasit mendengar, mungkin juga tidak. Wasit juga mungkin menghadapi dilema yang sama; apakah itu rasis atau hanya kebencian semata? Ini yang belum diatur secara gamblang di dalam aturan permainan. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Tapi makin jauh program itu berjalan, semakin panjang pula daftar pelecehan atas nama ras yang terjadi. Italia, Serbia, Spanyol dan Prancis adalah tempat di mana rasisme masih sangat subur. Sasarannya adalah mereka yang berkulit hitam.
Tapi konon modus operandi belakangan ini bukan lagi atas dasar rasisme semata. Suporter melakukan pelecehan ras atas dasar kebencian pada pemain lawan dan juga untuk mengganggu fokusnya bermain. Kebetulan mereka yang dilecehkan adalah pilar penting tim.
Musim lalu, suporter Madrid rajin menghina pemain berkulit hitam yang mengunjungi Santiago Bernabeu. Anehnya, El Real juga punya pemain berkulit hitam.
Musim ini, pendukung Juventus sudah dua kali menghina striker Italia dan Inter Milan, Mario Balotelli, walau tidak sedang menghadapi Inter. Slogan nyanyian mereka memang bernada rasis; "Tak ada orang Italia berkulit
hitam." Sebuah perlawanan terhadap status Balotelli yang lahir di Palermo dari pasangan imigran asal Ghana.
Uniknya, di Juventus pun ada pemain berkulit hitam yang kebetulan bukan orang Italia -- Momo Sissoko.
Tiga musim lalu, pendukung Inter juga melakukan hal tak terpuji. Mereka melecehkan bintang Messina asal Pantai Gading, Marc Zoro. Bahkan Zoro nyaris akan meninggalkan lapangan dengan cucuran air mata. Tragis sekali karena di kubu Inter masih ada sosok pemain berkulit hitam asal Brasil, Adriano.
Italia memang salah satu negeri dengan tingkat rasisme tertinggi di dunia. Perlakuan berbeda bukan cuma dialami oleh mereka yang berkulit gelap. Gelandang Juventus Mauro Camoranesi yang kelahiran Argentina pun kerap menjadi korban rasis meski tidak di atas lapangan. Padahal Camoranesi merupakan keturunan Italia (lihat nama marganya!) dan pemain nasional Italia (dari proses naturalisasi).
Dari berbagai kasus itu, maka pengamat semakin yakin bahwa pelecehan di dalam stadion hanya bermotifkan kebencian terhadap pemain lawan dan sekaligus menganggu permainannya. Bagaimana mungkin mereka menghina pemain berkulit hitam di kubu lawan sementara di tim sendiri juga ada pemain berwarna kulit yang sama.
Motif ini pula yang pernah dipakai oleh kapten Persik Kediri, Haryanto, ketika menghina pemain asing yang menjadi lawannya. Kepada komisi disiplin, Haryanto membantah telah melakukan pelecehan rasialis. Tapi kepada wartawan yang menunggunya di depan kantor PSSI, dia mengakui tindakannya bukan serta merta rasis.
"Aku mangkel, mas. Susah banget jaganya, ya sudah sekalian aku hina. Tapi itu cuma kekesalan biasa, bukan rasis. Wong di timku juga ada pemain hitam kok," katanya dalam bahasa Jawa yang medok.
Sepakbola hanyalah satu panggung dari fragmen kehidupan lainnya. Lapangan sepakbola juga bisa menjadi sebuah transformasi kehidupan. Seperti yang terjadi di Italia. Apa yang ada di luar lapangan, bisa juga terjadi di dalam lapangan.
FIFA, UEFA dan berbagai pengelola sepakbola terus menerus melakukan tindakan preventif. Yang paling keras adalah menghentikan pertandingan atau mencoret klub (yang pendukungnya melakukan pelecehan rasis) dari kompetisi.
Tapi ini belum pernah terjadi. Meski suara pelecehan suporter menggema di dalam stadion, wasit bergeming. Mungkin saja wasit mendengar, mungkin juga tidak. Wasit juga mungkin menghadapi dilema yang sama; apakah itu rasis atau hanya kebencian semata? Ini yang belum diatur secara gamblang di dalam aturan permainan. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Sejarah The Dream Team ACMILAN I II III IV
berawal dari : Silvio Berlusconi ‘tak perlu berpikir panjang untuk membeli AC Milan pada 1986. Dia ambisius, dia memiliki banyak uang, dan dia gila sepak bola. Dia kemudian meretas jalan untuk mengantar Milan menuju tangga kesuksesan di seri A Liga Italia dan di Piala Champions Eropa. Jalan yang akhirnya melahirkan julukan The Dream Team bagi Milan.
Langkah awal, Berlusconi mencoba membangun skuad solid di tubuh Milan. Pelatih Arigo Sachi direkrut untuk meracik strategi tim; duo Belanda didatangkan: Marco Van Basten dari Ajax Amsterdam dan Ruud Gullit dari PSV Eindhoven. Duo Belanda tersebut kemudian dipadukan oleh Sachi dengan pemain-pemain lokal Italia: Giovani Galli, Franco Baresi, Mauro Tasotti, Alesandro Costacurta, Paolo Maldini, Angelo Colombo, Carlo Anceloti, Alberigo Evani, dan Roberto Donadoni.
Hasilnya, tanpa menunggu lama, Milan meraih gelar Seri A setahun berikutnya, yaitu pada musim 1987-1988. Milan meraih posisi puncak dengan meraih poin tertinggi 45, selisih tiga poin di atas peringkat dua, Napoli.
Musim berikutnya, 1988-1989, Milan tidak mampu mempertahankan gelar seri A-nya meskipun mendapat tambahan satu lagi pemain baru asal Belanda, Frank Rijkard, yang direkrut dari Real Zaragosa. Milan hanya mampu menduduki peringkat tiga dengan poin 46, selisih 12 poin di bawah sang juara, Inter Milan, yang diperkuat trio Jerman: Lothar Matheus, Juergen Klinsman, dan Andreas Brehme. Namun, di Piala Champions, Milan berhasil tampil maksimal sebagai juara dengan menghancurkan Steaua Bucharest yang diperkuat George Hagi, 4-0 tanpa balas. Gol dicetak oleh Gullit dan Van Basten, masing-masing dua gol.
Gelar Piala Champions kembali dipertahankan Milan di musim berikutnya, 1989-1990, setelah mengalahkan Benfica di partai final melalui gol tunggal Rijkard. Gelar Piala Super Eropa dan Piala Toyota juga berhasil diraih dengan mengalahkan Barcelona 2-1 agregat dan Atletico Nacional 1-0. Namun, di Seri A, Milan kembali gagal menjadi juara setelah hanya menduduki peringkat dua dengan poin 49, selisih dua poin di bawah sang juara, Napoli, yang diperkuat Diego Armando Maradona dan Ciro Ferrara.
Musim 1990-1991, Milan kembali gagal menjuarai seri A setelah lagi-lagi berada di peringkat dua dengan poin 46, selisih lima poin di bawah Sampdoria. Begitu juga dengan Piala Champions, Milan gagal mempertahankannya setelah kalah dari Marseile di perempat final dengan skor 1-4 agregat. Namun, Milan berhasil mempertahankan Piala Super Eropa dan Piala Toyota setelah mengalahkan Sampdoria 3-1 agregat dan Olimpia 3-0. Di musim ini juga, Milan menjual dua pemain emasnya, yaitu Angelo Colombo ke Bari dan kiper Giovani Galli ke Napoli. Untuk mengganti kiper, Milan merekrut Sebastiano Rossi dari Cessena. Musim ini menjadi akhir kejayaan bagi The Dream Team I.
Musim 1991-1992, Milan mengalami masa transisi. Pelatih Sachi keluar karena berseteru dengan Van Basten; posisinya kemudian digantikan oleh Fabio Capello. Di musim ini juga turut bergabung gelandang muda berbakat, Demitrio Albertini, yang direkrut dari Padova. Hasilnya luar biasa, Milan kembali menjuarai seri A dengan poin 56, selisih delapan poin di atas peringkat dua, Juventus, yang diperkuat oleh Roberto Baggio.
Kesuksesan berlanjut ke musim 1992-1993. Milan kembali memuncaki seri A dengan meraih poin 50, selisih empat poin di atas peringkat dua, Inter Milan. Namun sayang, kesuksesan tersebut tidak berlanjut ke Piala Champions setelah Milan dikalahkan Marseille 0-1 di partai final, partai yang juga membuat Van Basten mendapatkan cedera parah di bagian engkelnya yang kemudian membuatnya pensiun selamanya dari sepak bola. Di musim ini, Milan juga banyak merekrut pemain baru: Jean Piere Papin dari Marseile, Zvonimir Boban dari Bari, Dejan Savisevic dari Red Star Belgrade, Stefano Eranio dari Genoa, dan Gianluigi Lentini dari Torino.
Musim selanjutnya, 1993-1994, Milan kembali berbenah menyusul hengkangnya duo Belanda: Gullit ke Sampdoria dan Rijkard ke Ajax Amsterdam, plus cedera parah yang diderita Van Basten dan pensiunnya Carlo Ancelotti, serta semakin tuanya umur beberapa pemain: Mauro Tasotti dan Roberto Donadoni. Pemain-pemain baru pun direkrut: Marcel Desaily dari Marseille, Brian Laudrup dari Fiorentina, Cristian Panucci dari Genoa, dan Florin Radocioui dari Brescia.
Hasilnya mantap, Milan meraih sukses ganda: menjuarai Seri A dan Piala Champions. Di Seri A, Milan memuncaki klasemen dengan poin 50, selisih tiga poin di atas peringkat dua, Juventus. Di Piala Champions, Milan menghancurkan Barcelona yang diperkuat Romario dan Ronald Koeman, serta dilatih Johan Cruyf, 4-0 tanpa balas. Dua gol dicetak Massaro, dua gol lainnya dicetak oleh Savicevic dan Desaily. Di musim ini, Milan juga tampil di Piala Toyota menggantikan Marseille yang dihukum karena kasus suap, namun Milan kalah dari Sao Paolo 2-3.
Musim 1994-1995, Milan gagal mempertahankan kesuksesannya. Gelar seri A direbut Juventus yang diperkuat Fabrizio Ravanelli, Gianluca Vialli, Didier Deschamps, dan pemain muda Alesandro Del piero. Di Piala Champions, Milan dikalahkan Ajax Amsterdam di partai final 0-1 melalui gol tunggal Patrick Kluivert. Di Piala Toyota, Milan juga kalah 0-2 dari Vales Sarsfield yang diperkuat kiper tangguh Jose Luis Chilavert. Gelar Piala Super Eropa menjadi gelar satu-satunya setelah Milan mengalahkan Arsenal 4-1 agregat. Musim ini menjadi akhir kejayaan dari The Dream Team II.
Selama 1995 hingga 2001, Milan membeli beberapa pemain bintang untuk memperkuat skuad. Ada yang berhasil; Ada yang gagal. Mereka yang berhasil di antaranya Roberto Baggio dan George Weah yang berhasil membawa Milan juara Seri A musim 1995-1996; Oliver Bierhoff yang berhasil membawa Milan juara Seri A musim 1998-1999, dan Andriy Shevchenko yang berhasil menciptakan 26 gol dan menjadi top skor Seri A, namun keberadaan mereka belum berhasil menciptakan The Dream Team baru.
Musim 2001-2002, Milan kembali berbenah. Pemain-pemain baru berkualitas didatangkan: Gennaro Gattuso dari Salernitana dan Rui Costa dari Fiorentina. Namun, musim ini, Milan tetap tidak mampu menggeser dominasi Juventus.
Musim berikutnya, 2002-2003, pemain-pemain baru kembali didatangkan: Clarence Seedorf dan Andrea Pirlo dari Inter Milan, Filippo Inzhagi dari Juventus, Serginho dari Cruzeiro Brazil, Fernando Redondo dari Real Madrid, dan Rivaldo dari Barcelona. Pelatih baru juga direkrut untuk mengolah strategi tim, yaitu Carlo Ancelotti, mantan pemain Milan era The Dream Team I.
Hasilnya, Milan berhasil merebut juara Coppa Italia dengan mengalahkan AS Roma 6-3 agregat dan merebut Piala Champions dengan mengalahkan Juventus lewat drama adu pinalti 3-2 (0-0).
Musim 2003-2004, Milan mendatangkan pemain muda asal Sao Paolo Brazil, Ricardo Kaka. Hasilnya, Milan menjuarai Seri A dan menggeser dominasi Juventus. Milan memuncaki klasemen dengan poin 72, selisih 6 poin di bawah peringkat dua, AS Roma. Milan juga meraih gelar Piala Super Eropa dengan mengalahkan FC Porto 1-0. Namun sayang, Milan gagal meraih Piala Toyota setelah dikalahkan Boca Juniors lewat adu pinalti. Begitu pula di Piala Champions, geliat Milan hanya sampai perempat final setelah dikalahkan Deportivo La Coruna, 4-5 agregat.
Musim 2004-2005, Milan mendatangkan Hernan Crespo dari Chelsea. Namun, Milan tetap gagal berprestasi di seri A. Di Piala Champions, Milan sebenarnya berpeluang besar menjadi juara, namun akhirnya gagal secara dramatis setelah dikalahkan Liverpoll lewat adu pinalti 3-1, padahal di babak normal, Milan sudah unggul terlebih dahulu 3-0, namun dapat disamakan 3-3.
Musim 2005-2006, formasi Milan tidak banyak berubah, hanya tambahan pemain muda Alberto Gilardino di sektor depan. Hasilnya juga tidak jauh beda, Milan gagal menjuarai Seri A dan di Piala Champions, prestasi Milan terhenti di semi final setelah dikalahkan Barcelona 1-0 agregat. Namun, di musim ini, pemain-pemain Milan memberikan kontribusi bagi Italia untuk meraih gelar Piala Dunia 2006 dengan mengalahkan Prancis lewat adu pinalti 5-4. Di musim ini juga, Milan menjual bintangnya Andriy Shevchenko ke Chelsea.
Musim 2006-2007, Milan memulai Seri A dengan poin minus delapan setelah terlibat kasus Calciopoli. Hasilnya, di akhir musim, Milan ‘tak mampu menjuarai seri A. Di Liga Champions, Milan memulai dari babak kualifikasi II, tapi Milan mampu menjuarai ajang ini setelah menghempaskan para wakil Inggris, Manchester United di Semi Final dengan 5-3 agregat dan Liverpoll di partai final dengan 2-1, sekaligus sebagai partai balas dendam atas kekalahan menyakitkan di final Piala Champions 2005.
Musim berikutnya, Milan memulai musim dengan menjuarai Piala Super Eropa dengan mengalahkan Sevilla 3-1. Kesuksesan berlanjut setelah Milan menjuarai Piala Toyota dengan mengalahkan Boca Juniors 4-2. Namun, gelar Piala Champions tidak mampu dipertahankan setelah Milan tertahan di Perdelapan Final oleh Arsenal dengan 0-2 agregat. Di Seri A, Milan juga tidak mampu menggeser dominasi Inter Milan. Musim ini menjadi akhir kejayaan The Dream Team III.
Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
27 Maret 2011
Paolo Maldini
Piala dunia 1994 di AS adalah Tahun saya lahir, saat Brazil bertemu Italia di final.
Ketika itu orang-orang membicarakan Romario-Bebeto di Brazil dan Roberto Baggio di Italia.
Saya yang saat itu belum genap 2bulan hanya mendengar satu sosok di kiri pertahanan Italia, Paolo Maldini.
Ketika era Romario-Bebeto dan Roberto Baggio habis dan digantikan era Zinedine Zidane dan Ronaldo, saya masih melihat Paolo Maldini.
Lalu era Zinedine Zidane dan Ronaldo habis, digantikan era Cristiano Ronaldo, Kaka, dan Lionel Messi, saya masih tetap melihat Paolo Maldini.
mungkin dari itu,posisi saya sewaktu maen sepak bola adalah bek tengah. karena Maldini adalah Pemain yang saya anggap bek terbaik saat itu
Melihat Maldini bermain selalu menyenangkan.
Tackling yang bersih, kuat, dan pintar membaca situasi..
Seorang pemain yang jadi role model untuk pemain belakang sekarang.
Pantaslah di umur 40 tahun dia masih ada di garis pertahanan Milan, ini bukan soal fisik tapi soal kharisma.
Semua penyerang hebat akan berpikir 1000 kali untuk berhadapan dengan Maldini.
Selama 24 tahun, dia berseragam AC Milan..
Pemain-pemain hebat datang dan pergi dari Milan, tapi Maldini tetap di Milan.
Maldini adalah simbol dari dekade-dekade kejayaan AC Milan..
Tak pernah sekali pun ia berniat pindah klub, bahkan kendati banyak klub dulu bersedia menggajinya dengan angka yang sungguh menggoda. Ia juga jarang sekali digosipkan, jarang tertangkap tangan mabuk-mabukan, kendati ia sebenarnya seorang DJ. Nyaris tak pernah ia berpaling pada perempuan selain istrinya, walaupun ia seorang model yang pernah membuat seorang Giorgio Armani frustasi. Ia fokus, selalu fokus, pada karirnya sebagai pemain bola, dengan berlatih dan berlatih. Seluruh hidupnya hanya untuk itu.
Maldini adalah pemain dengan sederet prestasi yang sudah lebih dari cukup untuk menjadikannya sebagai legenda. Ia sudah 7 kali juara Liga Italia, 5 kali juara Liga Champions, 1 satu juara Copa Italia, 5 kali juara Super Copa Italia, 2 kali Piala Toyota (Piala Interkontinental), 1 kali juara dunia antar klub. Sudah lebih dari seribu pertandingan dijalani sebagai pemain profesional, baik di level klub maupun tim nasional.
Mungkin hanya satu yang belum dia capai, yaitu berprestasi untuk negaranya. Tapi Maldini tetap seorang legenda..
Maka pertandingan lawan Fiorentina di akhir mei 2009 terasa sangat emosional untuk Maldini bahkan untuk penggemar sepakbola.
Ribuan penonton yang datang ke Artemio Franchi dan jutaan pasang mata yang menonton di layar kaca mengerti, mereka akan kehilangan 'seseorang'.
Sosok seorang gladiator yang hanya bermain untuk sepakbola.
Jadi sangat pantas kalo akhirnya AC Milan memberikan penghargaan buat maldini..
Kostum nomor 3 sang legenda akan diistirahatkan seperti kostum nomor 6-nya Franco Baresi.
Kita tidak akan pernah melihat seorang pemain AC Milan yang memakai nomor 3.
Karena nomor 3 adalah Maldini.
tulisan ini untuk Paolo, 31 mei 2009.
***
Melihat begitu buruknya permainan Milan dan hasil-hasil yang mengecewakan di awal kompetisi, saya jadi merindukan orang ini.
Saya memang bukan fans Milan, saya hanya mengagumi Maldini. Buat saya kepergian Kaka memang besar pengaruhnya, tapi Milan butuh seseorang seperti 'Maldini'. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Pemain atau Preman?
Kasus pengeroyokan terhadap suporter Sriwijaya FC Palembang yang dilakukan oleh empat pemain tim itu sungguh memprihatinkan. Ini kasus yang (mungkin) baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Ironisnya, keempat pemain itu berkaliber tim nasional. Bahkan salah seorang dari mereka adalah kapten tim nasional Indonesia.
Mereka bereaksi negatif lantaran merasa terhina oleh ocehan oknum suporter yang kecewa melihat Sriwijaya tampil buruk.
Di liga yang sudah mapan, pemain terlibat keributan bukan hal langka. Tapi dengan suporter tim sendiri? Rasanya sangat jarang.
Yang pernah terjadi adalah bentrokan dengan suporter lawan. Misalnya kasus tendangan kung-fu Eric Cantona ketika masih memperkuat Manchester United terhadap suporter Crystal Palace 15 tahun lalu.
Di Italia, suporter justru biasa "menyerang" tim sebagai reaksi protes perjalanan tim yang buruk. Biasanya mereka menyerbu markas latihan tim atau melempari bis tim dengan telur busuk, tomat dan berbagai benda lain.
Suporter di Italia biasanya menyerbu markas latihan dalam rangka ingin bicara langsung, entah kepada kapten tim atau pelatih. Mereka muak pada tim yang terus menerus kalah.
Sementara di Inggris, beberapa pemain sempat terlibat keributan di bar. Tapi itu terjadi di luar konteks sepakbola. Perkelahian terjadi karena situasi mabuk. Mungkin di sini dikenal istilah "senggol bacok" :D
Inilah yang sepatutnya diketahui pemain pro di Indonesia. Profesi mereka memang masih baru, secara resmi belum diakui masyarakat. Tugas mereka adalah menjawab tudingan atau hinaan fans dengan berlatih keras dan bermain lebih baik di lapangan. Bukan meresponnya dengan bogem mentah, keroyokan pula hingga si suporter masuk rumah sakit!
Apa yang dilakukan suporter Sriwijaya juga tak pada tempatnya. Mereka melakukannya di luar stadion dan bukan saat pertandingan. Tak perlu kita meniru yang dilakukan suporter di Italia. Apalagi jika kita menuntut tim berprestasi kelewat tinggi. Padahal level tim kita masih kelas sekian di Asia.
Tindakan mencemooh tim sendiri justru merugikan. Tingginya beban hanya membuat permainan tim tak berkembang. Manajer gaek Sir Alex Ferguson pernah mengatakan budaya penonton Inggris yang gemar membunyikan suara "huuuu" pada pemain tertentu membuat permainan Inggris tak berkembang.
Tugas suporter adalah memotivasi timnya, bukan justru memberangusnya.
Suporter Arema Indonesia punya lirik lagu yang menurut saya bagus untuk memotivasi pemain: "Arema bukan putri Solo..." Maksudnya para pemain Arema tak boleh bermain lemah gemulai karena mereka adalah atlet yang digembleng keras dan dibayar sehingga harus bermain giat.
Bila sudah mendengar lagu seperti ini, tinggal para pemain menjawabnya di lapangan. Bukan lagi menggunakan cara-cara preman. Tunjukkan bahwa Anda pemain profesional. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Keajaiban Injury Time
Sepakbola itu berlangsung selama 90 menit plus beberapa menit tambahan waktu. Selama itu, haram hukumnya bagi setiap tim untuk lengah. Jika teledor, siap-siap saja dihukum dengan cara yang mengerikan.
Manchester City baru saja tahu pahitnya jadi pecundang gara-gara gol telat Michael Owen di laga derby melawan Manchester United.
Tentu saja, jumlah waktu tambahan yang diberikan wasit di laga derby itu amat mudah dipersoalkan. Itu betul. Tapi protes soal jumlah tambahan waktu itu adalah satu soal, dan tetap berkonsentrasi hingga peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup adalah soal yang lain.
Saya percaya Kolo Toure, Julien Lescott, Wayne Bridge, Micah Richards dan Mark Hughes bukannya tak tahu soal itu. Persoalannya, menjaga tempo dan konsentrasi di menit-menit akhir bukanlah perkara mudah.
Tidak mudah untuk terus-menerus memicing mata dan memancangkan konsentrasi di menit-menit terakhir pertandingan, taroh kata di 5-10 menit terakhir. Ini bukan soal mau atau bukan, tapi perkara tenaga dan emosi yang sudah terkuras sehingga berkonsentrasi di menit-menit krusial itu kadang bukan perkara mudah.
Beruntunglah tim yang pemain-pemainnya bisa tetap fokus di menit-menit akhir pertandingan. Jauh lebih beruntung lagi jika sebuah tim punya pemain yang bermental baja dan tidak mudah menyerah, sehingga ketinggalan gol hingga menit 80-an atau bahkan 90-an sama sekali tidak mengendurkan semangat dan vitalitas. Jika sudah begitu, tinggal butuh sedikit keberuntungan bagi tim macam itu untuk bisa bikin gol, entah gol penyama kedudukan atau gol penentu kemenangan.
Gol-gol telat di periode injury time akan sukar dilupakan jika sudah terjadi di partai-partai krusial, lebih-lebih jika pertandingannya di level atas.
Saya masih ingat beberapa di antaranya. Gol David Trezeguet di injury time memupuskan keunggulan Italia pada final Piala Eropa 2000 di Belanda. Prancis akhirnya menang berkat -lagi-lagi- gol telat Sylvain Wiltord pada menit-menit terakhir perpanjangan waktu babak kedua. Saya juga masih ingat bagaimana Maradona menangis sesenggukan karena gol penalti Andreas Brehme di menit 85 pada Final Piala Dunia 1990 di Italia yang membuat Jerman Barat menjadi juara dunia untuk kali ketiga.
Gol telat yang masih belum lekang diingatan saya terjadi di Nou Camp pada Final Piala Champions 1999 antara Manchester United dengan Bayern Muenchen.
Hingga menit 90, Muenchen sudah unggul 1-0 berkat tendangan bebas Mario Basler di babak pertama. Suporter Muenchen sudah berosrak-sorak, Matheus sudah senyum-senyum di bench karena beberapa menit sebelumnya ia diganti. Panitia pertandingan bahkan sudah memasang pita berlogo Muenchen di Piala.
Tapi anak-anak Old Trafford tak menyerah. Dukungan dan teriakan suporternya diamini oleh Beckham, dkk., di lapangan. Mereka terus menggempur. Sampai akhirnya Solksjaer berhasil melahirkan tendangan bebas pada menit 90 lewat beberapa detik.
Beckham ambil tendangan, bola melayang ke kotak pnalti, bergulir beberapa kali sebelum sampai ke kaki Sheringham yang meneruskannya ke sisi kanan Oliver Kahn yang cuma bisa bengong. Gol. Stadiun bergemuruh. Mattheus di bench melongo tak percaya.
Tapi pertandingan belum usai. Semenit kemudian, MU lagi-lagi beroleh sepak pojok. Kali ini pendukung Muenchen berdegup jantungnya. Mereka belum pulih dari shock gol Sheringham. Beckham, lagi-lagi menjadi penyihirnya, dengan ayunan kaki kanan yang gemulai, diiringi teriakan fansnya yang menggemuruh, bola melayang ke kotak penalti, di sundul Sheringham dan bola jatuh di kaki Solksjaer yang dengan refleks gemilang mengangkat kakinya sedikit. Bola melayang -kali ini- ke sisi kanan Oliver Kahn.
Gol. Seisi stadion seperti runtuh oleh gema teraiakan pendukung MU. Pendukung Muenchen meratap. Mattheus tampak terbengong-bengong.
Keberuntungkah itu? Mungkin.
Tapi, jika pun itu keberuntungan, itu adalah hadiah dari Dewi Fortuna yang diberikan kepada orang-orang (baca: pemain MU) yang tak pernah menyerah oleh himpitan waktu yang memburu. Ini contoh keberpihakan Dewi Fortuna yang bersyarat: bahwa keberuntungan akan mudah hinggap ke orang-orang yang mau memforsir tekad dan tenaganya hingga batas yang paling dimungkinkan untuk mencapai satu tujuan. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Kontroversi dan Fair Play
Bagaimanakah bentuk fair play? Bisa beragam jawabannya. Tapi masalahnya, di jaman sepakbola yang mengindustri dan makin modern, fair play menjadi sangat bernilai jika tak ingin disebut langka. Ironisnya, sebelum laga digelar, selalu muncul empat bocah dengan membawa bendera fair play.
Paolo Di Canio patut menjadi salah satu sosok yang pantas disebut jika berbicara mengenai fair play. Padahal dia bekas pemain yang level emosi dan kontroversialnya sangat tinggi.
Pada tahun 2001, alih-alih mencetak gol untuk West Ham United karena gawang Everton sudah kosong, dia justru membuang bola. Di Canio merasa harus menghentikan laga lantaran kiper Everton, Paul Gerrard, terkapar lantaran cedera meski bukan pemain Italia itu penyebabnya.
Yang terbaru, skuad Wigan Athletic sepakat mengganti biaya tiket suporter yang ikut ke White Hart Lane ketika tim dibantai 9-1 oleh Tottenham Hotspur.
Kabar ini disambut sangat ramai (oleh blogger sepakbola), minimal di Inggris. Levelnya sama dengan reaksi pada tindakan Di Canio. Inilah wujud fair play. Ini sebuah sikap profesional. Sebuah loyalitas, sebuah tanggung jawab pada suporter yang rela pergi jauh-jauh dan harus melihat timnya dipermalukan.
Lalu apakah Thierry Henry yang melakukan handball dan tetap meneruskan permainan bukan pemain dengan prinsip fair play? Tergantung dari sudut mana melihatnya. Pemain Prancis dan Barcelona ini bukan yang pertama. Yang paling terkenal adalah Diego Maradona dengan julukan "Tangan Tuhan" walaupun saya sejak dulu tak suka dengan istilah itu -- seperti juga Sindhunata menulisnya di Kompas.
Kadar tindakan Henry juga tak lebih baik dari mereka yang melakukan diving agar timnya mendapat hadiah penalti. Silahkan hitung berapa banyak pemain yang berhasil melakukan itu. Ada pula pertanyaan mengapa Henry tidak menghentikan laga setelah melakukan handball.
Dia tak mungkin melakukannya, seperti juga pemain lainnya. Secara alamiah, mungkin di bawah alam sadar, si pemain akan meneruskan permainan walaupun tahu telah melakukan pelanggaran. Dia adalah pemain. Soal menghentikan atau meneruskan laga, di sana ada wasit yang memang berperan dan berkapasitas untuk itu.
Secara normal, wasit Martin Hansson yang mengadili Prancis vs Republik Irlandia memang tidak bekerja sesuai aturan. Wasit Swedia itu berdalih pandangan dirinya dan sang asisten terhalang oleh menumpuknya pemain. Tetapi seharusnya hal itu tak terjadi. Apapun situasinya, wasit dituntut bekerja optimal.
Namun wasit hanyalah manusia. Punya keterbatasan. Tak berbeda dengan pemain itu sendiri. Kontroversi sebuah pertandingan sama tuanya dengan permainan sepakbola itu sendiri.
Malang bagi Irlandia karena tindakan Henry, keputusan Hansson dan hasil pertandingan membuat mereka harus mengubur impian untuk lolos ke Piala Dunia 2010. Pahit, kecewa dan marah menjadi satu.
Tapi saya tetap berpegang pada prinsip bahwa kontroversial terjadi hanya dalam satu titik di sebuah pertandingan. Mengapa misalnya Irlandia tak berupaya mencetak gol lebih banyak? Mengapa Robbie Keane tidak memanfaatkan peluang emasnya di menit awal? Hasil sebuah laga tak hanya bergantung pada satu insiden, walau memang kadang justru insiden terkait bisa meruntuhkan mental dan mengubah peta permainan. Apa boleh buat.
Dalam kasus Prancis vs Irlandia, solusi tanding ulang (rematch) menjadi adil. Henry pun mendukungnya. Saya juga setuju. Tetapi prakteknya tak semudah yang diinginkan. Ini terkait dengan jadwal internasional yang sudah libur panjang hingga bulan Maret nanti. Jadwal klub semakin padat. Belum lagi sikap para klub tempat para pemain kedua negara bernaung. Apabila rematch dilakukan, maka antrian dari negara lain yang gagal di masa lalu akibat keputusan kontroversial juga bisa sangat panjang. Sungguh bukan sinyalemen yang bagus. Bisa merusak tatanan karena hal itu tak ada dalam aturan resmi FIFA atau UEFA.
Saya lebih setuju pada pernyataan bek Prancis Sebastian Squillaci. Sebuah kontroversi tak pernah bisa ditolak. Yang terjadi, apakah itu menguntungkan atau merugikan anda. Kali ini kontroversi menguntungkan Prancis. Tetapi di lain waktu ada kalanya bakal merugikan Prancis. Demikian seterusnya.
Sebuah ungkapan yang sungguh bijaksana. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Kisah Seorang Supersub
Pekan ke-6 Liga Inggris menyuguhkan momen Michael Owen sebagai supersub yang menghindarkan kekalahan United atas Bolton. Sejak Owen datang ke Old Trafford, semua orang sudah menduga bahwa peran utamanya memang hanya akan menjadi seorang supersub.
Apakah peran sebagai seorang supersub bisa dibanggakan?
Kita pasti masih ingat dengan seseorang yang melegenda 'hanya' dari statusnya sebagai supersub, Ole Gunnar Solskjaer.
"You can still make a big, big impact at this club even if you're not a first-team regular. I think maybe that's the lesson some of them have learned from what happened to me." (Solskjaer)Lalu, sejak kapan seorang pemain pengganti mulai diperhitungkan dalam sepakbola?
Sejarah Pemain Pengganti dalam Sepakbola
Ternyata baru sekitar 60 tahun yang lalu, peraturan tentang adanya seorang pemain pengganti mulai diperkenalkan. Dalam pertandingan resmi, pemain pengganti pertama dalam sejarah adalah Horst Eckel. Dia bermain untuk Jerman dalam kualifikasi Piala Dunia 1954 melawan Saarland, sebuah negara kecil yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Di Liga Inggris, peraturan tentang adanya pemain pengganti baru dipakai sejak musim 1965-66. Selama 2 tahun sejak peraturan ini diperkenalkan, sebuah tim hanya boleh mengganti pemainnya sebanyak satu kali, kecuali jika ada yang cedera. Baru pada musim 1967-68, pergantian pemain karena alasan taktik diperbolehkan. Pemain pengganti pertama dalam sejarah Liga Inggris adalah Keith Peacock (Charlton, vs Bolton), dia menggantikan kiper Mike Rose yang mengalami cedera 10 menit sebelum pertandingan bubar.
Sejak pergantian pemain mulai diperkenankan pada pertengahan abad 20, pemberdayaan seorang pemain pengganti berkembang menjadi analisa taktik yang menarik. Kapan dan siapa pemain yang tepat untuk menjadi menjadi pengganti, menjadi salah satu kunci kemenangan yang harus diperhitungkan.
Seorang pemain dengan stamina yang lebih segar dan bisa merubah pertandingan seringkali menjadi senjata rahasia di sisa waktu permainan. Itulah mengapa harus ada super substitute alias pengganti super.
Awal Kemunculan Supersub
Awalnya, istilah supersub muncul sebagai julukan untuk pemain Liverpool yang bermain pada era 1970-80-an, David Fairclough. Di musim debutnya, Fairclough membukukan 14 penampilan, 9 diantaranya sebagai pemain pengganti. Dia mencetak 7 gol krusial di menit akhir pertandingan yang membuat Liverpool sukses memuncaki klasemen Liga Inggris kala itu. Secara total selama karirnya di Liverpool, Fairclough mencetak 20 gol dari perannya sebagai pemain pengganti.
Ole Gunnar Solskjaer
Ketika bicara supersub, rasanya tidak berlebihan menyebut nama Solskjaer sebagai maskot dalam peran yang unik ini. Jika bukan yang terbaik, setidaknya Solskjaer adalah supersub yang layak dikenang.
Solskjaer telah mencetak 29 dari total 126 golnya untuk United dari perannya sebagai pemain pengganti. Tore Andre Flo juga dikenal menjadi supersub bagi pendukung Chelsea karena 13 golnya sebagai pemain pengganti.
Namun lebih dari siapapun, Solskjaer punya banyak momen yang mengidentikkan dirinya sebagai seorang supersub. Gol debutnya untuk United, terjadi 6 menit setelah dia masuk sebagai pemain pengganti (vs Blackburn, 1996). Begitu pula dengan gol terakhirnya untuk United, terjadi 6 menit setelah masuk sebagai pemain pengganti melawan musuh yang sama!
Musim 1998-99 adalah penahbisan peran supersub yang mengagumkan bagi Solskjaer. Dalam pertandingan liga melawan Nottingham Forest, penyerang berwajah bayi ini mencetak 4 gol dalam rentang 10 menit ketika baru saja masuk sebagai pemain pengganti. Dan puncaknya, semua orang tahu tentang cerita sang supersub Solskjaer di final Liga Champions 1999...
Kisah Sensasional Gedo
Di Benua Afrika, seorang pemain bernama Mohamed Nagy alias Gedo adalah pahlawan supersub bangsa Mesir. Kisahnya di Piala Afrika 2010 sangat unik: Dalam 6 pertandingan tidak pernah menjadi starter, selalu menjadi pemain pengganti, namun menjadi topskor turnamen dengan 5 gol. Seluruh gol dicetaknya di atas menit ke-80, termasuk gol ke-5 yang mengantarkan Mesir menjadi juara!
....
Jadi, sepakbola memang permainan tim. Untuk memenangkan pertandingan, tidak cukup dengan hanya mengandalkan pemain terbaik. Tidak ada seorangpun pemain yang bisa tampil konsisten. Dengan tim yang baik, skuad yang baik, seorang manager punya pilihan untuk menjalankan 'plan B'. Dan, senjata terbaik dalam 'plan B' adalah: menggunakan seorang supersub. Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Saat Ayah Membaptis Saya Dengan Piala Dunia
suatu cerita ttg ayah yg mengajak ank nya menonton bola
Ayah tidak henti-hentinya membicarakan kemenangan Denmark di final Piala Eropa 1992 kepada anak sulungnya yang masih berusia 5 tahun. Dua gol dari John Jensen dan Kim Vilfort membawa Danish Dynamite menaklukkan Jerman padahal Denmark berstatus sebagai tim pengganti di kejuaraan itu. Yugoslavia dijatuhi sanksi tak boleh bermain karena perang yang berkecamuk di negara Balkan tersebut.
Sampai 2 tahun berikutnya ayah masih sering menggumamkan prestasi mengejutkan Denmark itu hingga Piala Dunia 1994 tiba. Si tim kejutan di Swedia 1992, Denmark, tidak lolos ke Piala Dunia 1994 dan ayah mengatakan bagaimana menjadi juara Eropa tidak berarti lolos ke Piala Dunia. Perkenalan pertama saya dengan dogma "Bola itu bundar".
Hari itu hari Minggu, ayah membawa saya ke Gramedia. Ia membelikan buku panduan Piala Dunia, entah siapa penerbitnya, tapi kala itu buku panduan Piala Dunia masih bisa dihitung jari, tidak berserak seperti sekarang. Sampulnya berwarna dominan biru tua dengan merah di tepian, warna yang sangat Amerika, tuan rumah kejuaraan akbar tahun 1994 itu.
Tidak jelas mengapa ayah bersemangat sekali membeli buku panduan tersebut. Mungkin ia ingin mendidik saya untuk menggemari sepakbola, olahraga yang menjadi tontonan favoritnya sejak SMA. Tidak ada siaran langsung Piala Dunia di Pematang Siantar, tempatnya sekolah. Ia baru bisa menyaksikan aksi Johan Cryuff di Piala Dunia 1974 2 bulan sesudah turnamen itu digelar. Itu pun menontonnya di bioskop karena rupanya rekaman pertandingan sepakbola laku diputar sebagai tontonan meski tidak aktual.
Saya tidak ingat berapa lama waktu yang diperlukan, tapi saya ingat betul buku panduan tersebut habis saya baca di hari pertama saya memilikinya. Saya tergila-gila dengan sejarah sejak kecil dan berkenalan dengan sejarah sepakbola adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Saya berkenalan dengan nama-nama asing yang terlihat begitu menawan dalam buku tersebut. Ayah sudah pernah berkisah tentang Maradona, Pele, Zico, Schillaci, dan Lineker sebelumnya, tapi saya baru bertemu dengan Puskas, Garrincha, Fontaine, Masopust.
Pada hari pertama Piala Dunia, ayah pulang dan membawa album stiker Piala Dunia terbitan Panini. Sebagai seorang bocah yang dijejali dengan tontonan Amerika sejak kecil, secara naluriah saya bersimpati pada tim Amerika. Apalagi saat saya tahu bahwa orang Amerika tidak bisa main sepakbola dan secara umum adalah kaum paria dalam olahraga ini.
Ayah duduk di sebelah saya saat Amerika Serikat menjamu Swiss dalam partai perdana Piala Dunia 1994. Saya bersorak-sorai saat Eric Wynalda mencetak gol yang menyamakan kedudukan 1-1. Sejak saya melihatnya di album stiker Panini tersebut, saya langsung tertarik pada Wynalda untuk alasan yang tidak jelas. Mungkin karena wajahnya mirip dengan aktor pria ganteng yang sering saya saksikan dalam serial TV Amerika. Saya masih ingat bagaimana saya dan ayah beserta adik mengejek wajah kiper Swiss, Marco Pascolo, karena terlihat seperti orang kurang tidur, ngantuk. Padahal wajahnya memang begitu.
Makhluk yang paling membuat saya penasaran di Piala Dunia 1994 adalah Diego Maradona. Ayah memujanya setinggi langit. Ia mengisahkan dengan semangat bagaimana Maradona menari-nari melewati pemain Inggris tahun 1986. Tak lupa juga ia ceritakan bagaimana Si Boncel mendorong bola dengan tangan pada pertandingan yang sama. Ayah tidak lupa menambahkan, "Ia berdosa saat bilang itu tangan Tuhan".
Saya hanya sekali menyaksikan Maradona kala itu dan sejujurnya tidak begitu terkesan. Mungkin ia sudah lewat masa jaya. Si Tangan Tuhan akhirnya dipulangkan dari turnamen karena terbukti mengonsumsi obat.
Sebagai seorang anak kecil yang mudah tertarik secara visual, saya menikmati sekali menonton Nigeria. Yang paling saya tunggu adalah selebrasi gol karena biasanya Daniel Amokachi akan melakukan salto di penjuru lapangan.
Ayah mengatakan bahwa Rumania dan Gheorghe Hagi adalah fenomena di Piala Dunia tersebut. Hagi sang maestro memimpin negaranya hingga perempat-final, termasuk mengalahkan Argentina pada babak sebelumnya. Saya masih terlalu kecil untuk memahami bahwa seorang playmaker seperti Hagi adalah aset berharga. Saya masih terlalu belia untuk mengapresiasi umpan terukur. Yang ingin saya lihat hanyalah orang-orang yang jumpalitan usai mencetak gol.
Jagoan saya, Amerika Serikat, tersingkir dari turnamen karena kalah dari Brazil. Saya tertawa geli melihat selebrasi tarian menggendong bayi dari Bebeto, si Manusia Angin. Selama 3 hari ke depan saya tak hentinya menirukan tarian tersebut. Lucunya, baru esok harinya saya tahu arti dari selebrasi tersebut. Saya kira Bebeto hanya bertingkah jenaka dengan meniru gerakan pemain kabaret.
Saya kecewa karena aksi salto tidak bisa lagi saya saksikan setelah Nigeria disingkirkan Italia. Hal ini membuat saya tidak lagi punya gacoan padahal turnamen baru sampai babak perempat-final. Ayah lalu bercerita tentang kehebatan Hristo Stoichkov dan Emil Kostadinov, dua nama yang saya lihat hilir mudik di surat kabar saat itu, tapi tidak begitu saya perhatikan. Saya tidak begitu peduli pada orang-orang yang namanya sulit saya lafalkan.
Saya tahu Jerman adalah tim kuat yang berstatus juara bertahan maka saya tidak begitu antusias saat ayah mengajak saya menonton Tim Panser melawan Bulgaria di babak 8 besar. Yang terjadi adalah sebaliknya. Satu gol Stoichkov dan satu sundulan mematikan dari pemain botak, Yordan Letchkov menjungkirbalikkan prediksi. Sang unggulan pun rontok. Lagi-lagi saya belajar tentang kehebatan orang-orang underdog, mereka yang tidak dianggap, mereka yang diremehkan.
Karena alasan yang tidak bisa diingat, saya luput menonton babak semifinal. Tapi saya sempat menonton perebutan tempat ketiga antara Swedia melawan Bulgaria yang dimenangkan negara Skandinavia 4-0. Ayah gemar sekali dengan striker Swedia, Tomas Brolin, sedangkan saya tidak. Alasan saya sangat konyol, saya tidak suka bentuk hidung Brolin.
Final Piala Dunia 1994 digelar pada hari pertama tahun ajaran baru. Saya baru naik kelas 2 SD. Final digelar subuh waktu Jakarta dan saya memaksa diri bangun untuk menonton. Saya ingat ayah tidak bersama saya kala itu, nampaknya ia sedang dinas keluar kota. Untuk ukuran anak kecil sekalipun saya bisa merasakan bahwa final tersebut membosankan. Saya menjagokan Italia tanpa alasan spesifik. Saya lebih suka warna biru dibanding kuning, lagipula semua orang nampaknya mendukung Brazil, biarlah saya mendukung mereka yang tidak didukung.
Tidak ada gol yang tercipta selama 120 menit sehingga pertandingan harus diselesaikan dengan adu penalti. Saya terdiam sejenak sambil menganga usai tendangan penalti Roberto Baggio yang terbang sampai Meksiko itu. Brazil memenangi Piala Dunia yang pertama saya tonton. Saya sama sekali tidak tertarik menyaksikan selebrasi mereka meski mereka menari-nari dengan irama yang belakangan saya ketahui bernama Samba. Bagi saya orang-orang berkulit legam dengan lompatan akrobatik seperti Nigeria lebih menarik.
Itu adalah awal perkenalan saya dengan sepakbola, saat ayah membaptis saya dengan Piala Dunia. Hingga saat ini kami selalu berseberangan dalam banyak hal dan perspektif kami tidak selalu sama. Tapi kami dapat duduk bersebelahan menonton sepakbola.
Lazimnya anak kecil, komik adalah bacaan wajib. Ayah menentangnya dan tidak mau membelikan dengan alasan tidak mencerdaskan. Ayah menginginkan saya membaca buku-buku sains. Ayah juga menentang saya menonton serial-serial TV dengan alasan serupa. Tapi hingga saat ini tidak pernah mengusik jika saya hendak menonton sepakbola.
Akhir-akhir ini ayah tidak begitu sering menonton siaran sepakbola meskipun ia memasang TV berlangganan di rumah. Ia lebih memilih tidur agar dapat bangun pagi dengan segar.
Masalah timbul karena siaran langsung Piala Dunia tidak bisa dinikmati lewat TV berlangganan. Saya mengutarakannya pada ayah.
Kemarin, sehari menjelang Piala Dunia, ia pulang dari kantor dengan menenteng antena terestrial.........
Sumber: http://bolaria.com/baca/2010/06/11/saat-ayah-membaptis-saya-dengan-piala-dunia.html Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Ayah tidak henti-hentinya membicarakan kemenangan Denmark di final Piala Eropa 1992 kepada anak sulungnya yang masih berusia 5 tahun. Dua gol dari John Jensen dan Kim Vilfort membawa Danish Dynamite menaklukkan Jerman padahal Denmark berstatus sebagai tim pengganti di kejuaraan itu. Yugoslavia dijatuhi sanksi tak boleh bermain karena perang yang berkecamuk di negara Balkan tersebut.
Sampai 2 tahun berikutnya ayah masih sering menggumamkan prestasi mengejutkan Denmark itu hingga Piala Dunia 1994 tiba. Si tim kejutan di Swedia 1992, Denmark, tidak lolos ke Piala Dunia 1994 dan ayah mengatakan bagaimana menjadi juara Eropa tidak berarti lolos ke Piala Dunia. Perkenalan pertama saya dengan dogma "Bola itu bundar".
Hari itu hari Minggu, ayah membawa saya ke Gramedia. Ia membelikan buku panduan Piala Dunia, entah siapa penerbitnya, tapi kala itu buku panduan Piala Dunia masih bisa dihitung jari, tidak berserak seperti sekarang. Sampulnya berwarna dominan biru tua dengan merah di tepian, warna yang sangat Amerika, tuan rumah kejuaraan akbar tahun 1994 itu.
Tidak jelas mengapa ayah bersemangat sekali membeli buku panduan tersebut. Mungkin ia ingin mendidik saya untuk menggemari sepakbola, olahraga yang menjadi tontonan favoritnya sejak SMA. Tidak ada siaran langsung Piala Dunia di Pematang Siantar, tempatnya sekolah. Ia baru bisa menyaksikan aksi Johan Cryuff di Piala Dunia 1974 2 bulan sesudah turnamen itu digelar. Itu pun menontonnya di bioskop karena rupanya rekaman pertandingan sepakbola laku diputar sebagai tontonan meski tidak aktual.
Saya tidak ingat berapa lama waktu yang diperlukan, tapi saya ingat betul buku panduan tersebut habis saya baca di hari pertama saya memilikinya. Saya tergila-gila dengan sejarah sejak kecil dan berkenalan dengan sejarah sepakbola adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Saya berkenalan dengan nama-nama asing yang terlihat begitu menawan dalam buku tersebut. Ayah sudah pernah berkisah tentang Maradona, Pele, Zico, Schillaci, dan Lineker sebelumnya, tapi saya baru bertemu dengan Puskas, Garrincha, Fontaine, Masopust.
Pada hari pertama Piala Dunia, ayah pulang dan membawa album stiker Piala Dunia terbitan Panini. Sebagai seorang bocah yang dijejali dengan tontonan Amerika sejak kecil, secara naluriah saya bersimpati pada tim Amerika. Apalagi saat saya tahu bahwa orang Amerika tidak bisa main sepakbola dan secara umum adalah kaum paria dalam olahraga ini.
Ayah duduk di sebelah saya saat Amerika Serikat menjamu Swiss dalam partai perdana Piala Dunia 1994. Saya bersorak-sorai saat Eric Wynalda mencetak gol yang menyamakan kedudukan 1-1. Sejak saya melihatnya di album stiker Panini tersebut, saya langsung tertarik pada Wynalda untuk alasan yang tidak jelas. Mungkin karena wajahnya mirip dengan aktor pria ganteng yang sering saya saksikan dalam serial TV Amerika. Saya masih ingat bagaimana saya dan ayah beserta adik mengejek wajah kiper Swiss, Marco Pascolo, karena terlihat seperti orang kurang tidur, ngantuk. Padahal wajahnya memang begitu.
Makhluk yang paling membuat saya penasaran di Piala Dunia 1994 adalah Diego Maradona. Ayah memujanya setinggi langit. Ia mengisahkan dengan semangat bagaimana Maradona menari-nari melewati pemain Inggris tahun 1986. Tak lupa juga ia ceritakan bagaimana Si Boncel mendorong bola dengan tangan pada pertandingan yang sama. Ayah tidak lupa menambahkan, "Ia berdosa saat bilang itu tangan Tuhan".
Saya hanya sekali menyaksikan Maradona kala itu dan sejujurnya tidak begitu terkesan. Mungkin ia sudah lewat masa jaya. Si Tangan Tuhan akhirnya dipulangkan dari turnamen karena terbukti mengonsumsi obat.
Sebagai seorang anak kecil yang mudah tertarik secara visual, saya menikmati sekali menonton Nigeria. Yang paling saya tunggu adalah selebrasi gol karena biasanya Daniel Amokachi akan melakukan salto di penjuru lapangan.
Ayah mengatakan bahwa Rumania dan Gheorghe Hagi adalah fenomena di Piala Dunia tersebut. Hagi sang maestro memimpin negaranya hingga perempat-final, termasuk mengalahkan Argentina pada babak sebelumnya. Saya masih terlalu kecil untuk memahami bahwa seorang playmaker seperti Hagi adalah aset berharga. Saya masih terlalu belia untuk mengapresiasi umpan terukur. Yang ingin saya lihat hanyalah orang-orang yang jumpalitan usai mencetak gol.
Jagoan saya, Amerika Serikat, tersingkir dari turnamen karena kalah dari Brazil. Saya tertawa geli melihat selebrasi tarian menggendong bayi dari Bebeto, si Manusia Angin. Selama 3 hari ke depan saya tak hentinya menirukan tarian tersebut. Lucunya, baru esok harinya saya tahu arti dari selebrasi tersebut. Saya kira Bebeto hanya bertingkah jenaka dengan meniru gerakan pemain kabaret.
Saya kecewa karena aksi salto tidak bisa lagi saya saksikan setelah Nigeria disingkirkan Italia. Hal ini membuat saya tidak lagi punya gacoan padahal turnamen baru sampai babak perempat-final. Ayah lalu bercerita tentang kehebatan Hristo Stoichkov dan Emil Kostadinov, dua nama yang saya lihat hilir mudik di surat kabar saat itu, tapi tidak begitu saya perhatikan. Saya tidak begitu peduli pada orang-orang yang namanya sulit saya lafalkan.
Saya tahu Jerman adalah tim kuat yang berstatus juara bertahan maka saya tidak begitu antusias saat ayah mengajak saya menonton Tim Panser melawan Bulgaria di babak 8 besar. Yang terjadi adalah sebaliknya. Satu gol Stoichkov dan satu sundulan mematikan dari pemain botak, Yordan Letchkov menjungkirbalikkan prediksi. Sang unggulan pun rontok. Lagi-lagi saya belajar tentang kehebatan orang-orang underdog, mereka yang tidak dianggap, mereka yang diremehkan.
Karena alasan yang tidak bisa diingat, saya luput menonton babak semifinal. Tapi saya sempat menonton perebutan tempat ketiga antara Swedia melawan Bulgaria yang dimenangkan negara Skandinavia 4-0. Ayah gemar sekali dengan striker Swedia, Tomas Brolin, sedangkan saya tidak. Alasan saya sangat konyol, saya tidak suka bentuk hidung Brolin.
Final Piala Dunia 1994 digelar pada hari pertama tahun ajaran baru. Saya baru naik kelas 2 SD. Final digelar subuh waktu Jakarta dan saya memaksa diri bangun untuk menonton. Saya ingat ayah tidak bersama saya kala itu, nampaknya ia sedang dinas keluar kota. Untuk ukuran anak kecil sekalipun saya bisa merasakan bahwa final tersebut membosankan. Saya menjagokan Italia tanpa alasan spesifik. Saya lebih suka warna biru dibanding kuning, lagipula semua orang nampaknya mendukung Brazil, biarlah saya mendukung mereka yang tidak didukung.
Tidak ada gol yang tercipta selama 120 menit sehingga pertandingan harus diselesaikan dengan adu penalti. Saya terdiam sejenak sambil menganga usai tendangan penalti Roberto Baggio yang terbang sampai Meksiko itu. Brazil memenangi Piala Dunia yang pertama saya tonton. Saya sama sekali tidak tertarik menyaksikan selebrasi mereka meski mereka menari-nari dengan irama yang belakangan saya ketahui bernama Samba. Bagi saya orang-orang berkulit legam dengan lompatan akrobatik seperti Nigeria lebih menarik.
Itu adalah awal perkenalan saya dengan sepakbola, saat ayah membaptis saya dengan Piala Dunia. Hingga saat ini kami selalu berseberangan dalam banyak hal dan perspektif kami tidak selalu sama. Tapi kami dapat duduk bersebelahan menonton sepakbola.
Lazimnya anak kecil, komik adalah bacaan wajib. Ayah menentangnya dan tidak mau membelikan dengan alasan tidak mencerdaskan. Ayah menginginkan saya membaca buku-buku sains. Ayah juga menentang saya menonton serial-serial TV dengan alasan serupa. Tapi hingga saat ini tidak pernah mengusik jika saya hendak menonton sepakbola.
Akhir-akhir ini ayah tidak begitu sering menonton siaran sepakbola meskipun ia memasang TV berlangganan di rumah. Ia lebih memilih tidur agar dapat bangun pagi dengan segar.
Masalah timbul karena siaran langsung Piala Dunia tidak bisa dinikmati lewat TV berlangganan. Saya mengutarakannya pada ayah.
Kemarin, sehari menjelang Piala Dunia, ia pulang dari kantor dengan menenteng antena terestrial.........
Sumber: http://bolaria.com/baca/2010/06/11/saat-ayah-membaptis-saya-dengan-piala-dunia.html Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Orang Indonesia Tidak Bisa Main Bola dan Mengurus Bola!
CUMA SEKEDAR SHARE
Di tengah ramainya perhelatan Piala Dunia 2010, saya sempatkan diri untuk menyapa sahabat saya, Marina, seorang gadis Brasil yang tinggal di Sao Paolo. Sebagai pendukung Brasil sejak bertahun-tahun lampau, saya ingin menyatakan dukungan saya pada timnas-nya.
Saya tentu tahu, Timnas Indonesia berada di urutan ke-137 dalam Daftar Peringkat Dunia FIFA yang dirilis April 2010 lalu. Jauh dibawah Vietnam (117) dan Thailand (106). Tapi masak saya mesti mengatakan itu ke dia? Malu lah! Saya lebih gila bola dari dia. Dulu, waktu kami sering jalan bareng di Paris, dia sempat heran dengan pengetahuan sepak bola saya. Saya hafal nama pemain Brasil yang bernaung di klub-klub Eropa. Hafal sejarah Timnas Brasil di Piala Dunia. Biasanya Marina hanya mengangguk-angguk, setiap kali saya bercerita dengan penuh semangat tentang sepak terjang pemain Brasil. Dalam hati dia mungkin berkata, “Kasihan amat ya orang ini. Wong saya yang asli Brasil biasa-biasa aja!”
Dulu Presiden SBY pernah bilang (atau ngeles?), kalau kita tidak perlu malu karena tidak bisa menghasilkan satu pun pemain hebat dari 200 juta warga Indonesia. Toh India dan Cina juga tidak punya pemain bola yang hebat. Beliau mungkin lupa, tidak seperti Indonesia, sepak bola bukan cabang olahraga yang populer di negara-negara tersebut. Lagipula Cina punya deretan prestasi di banyak cabang lain. Atlit-atlit mereka selalu mendominasi perolehan medali di Olimpiade atau Asian Games.
Malam menjelang pertandingan final antara Spanyol-Belanda, iseng-iseng saya nonton RCTI. Saya lihat Presiden SBY dan Menpora berbincang seru tentang Piala Dunia dalam sebuah siaran langsung. Dalam hati saya bertanya, kira-kira ada tidak ya, kepala negara lain di muka bumi ini, yang Timnas-nya tidak ikut Piala Dunia, tapi begitu semangat dan antusias membicarakan tim negara lain? Disiarkan secara langsung pula? Sang Menpora tidak kalah semangat. Dengan kumis lebat yang hampir masuk mulut, ia termonyong-monyong membicarakan kehebatan timnas Belanda. Ia bertukas bangga, “Asal anda tahu saja, ada 5-6 pemain Belanda yang keturunan Indonesia loh!”. Lalu ia melontarkan ide ‘cemerlang’ kepada Presiden, “Kita bisa data semua pemain-pemain dunia yang punya darah Indonesia, kita tawarkan, siapa tahu mereka mau main buat PSSI?”. Saya hampir keselek mendengarnya.
Saya bayangkan sang Menpora mendekati Bronckhorst, De Jong, Heitinga dan sejumlah pemain ternama yang ia klaim punya darah Indonesia. Dengan cuping kembang kempis ia berkata kepada mereka, “Meneer, nenek moyang anda kan orang Indonesia. Kira-kira anda mau tidak main untuk Timnas kami? Memang sekarang kami cuma berada di urutan 137 dunia, tidak punya prestasi apa-apa, organisasinya juga dipimpin sama mantan napi korupsi. Tapi kami butuh orang seperti anda, karena kami tidak mampu (dan tidak akan mampu) mencetak pemain-pemain kelas dunia. Gimana, mau ya? Hitung-hitung balas budi sama nenek moyang”. Si Bronckhorst dkk menatap senyum sang Menpora yang nyaris tertutup bulu-bulu di atas mulutnya. Mereka mengernyitkan dahi dan menjawab ketus, “Ya enggak lah!! Kami jadi hebat begini kan karena didikan sepakbola negara kami, Belanda. Enak aja situ mau metik hasil tapi gak mau nanem benih. Kalo situ gak bisa mendidik pemain, ya nggak usah main bola!”.
Kasihan amat Presiden dan Menpora Indonesia yang (seperti saya dan seluruh rakyat Indonesia) hanya bisa menyoraki negara lain di Piala Dunia. Bedanya, saya tidak punya mimpi aneh-aneh, seperti mengkhayal Timnas Indonesia ikut main di PD, atau ada pemain dunia yang ujug-ujug ingin gabung ke PSSI. Saya tentu sedih (dan malu) dengan prestasi Timnas Indonesia. Tapi lebih sedih (dan malu) mendengar mimpi dan khayalan pejabat negara saya. Dari mulai mau jadi tuan rumah Piala Dunia, sampe mengkhayal Bronckhorst mau masuk PSSI. Mimpi sih boleh-boleh saja, Pak. Tapi mimpinya yang bener dong! Silahkan anda bermimpi untuk memperbaiki pembinaan sepakbola di Indonesia, bukannya mimpi mencuri pemain hebat hasil binaan negara lain!
Saya yakin, sampai 100 tahun ke depan, orang Indonesia cuma bisa teriak-teriak di depan layar, nonton bareng di kafe-kafe sambil sambil memakai seragam Timnas negara lain, lalu ngetik status di facebook atau twitter menyemangati negara lain. Kalo punya duit lebih, hasil kerja keras atau korupsi, bisa lah gabung sama supporter-suporter negara peserta Piala Dunia, hitung-hitung nambah pemasukan devisa negara tuan rumah. Yah, orang Indonesia memang tidak bisa main dan ngurus bola!
sumber : http://bolaria.com/baca/2010/07/13/orang-indonesia-tidak-bisa-main-bola-dan-mengurus-bola.html Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Di tengah ramainya perhelatan Piala Dunia 2010, saya sempatkan diri untuk menyapa sahabat saya, Marina, seorang gadis Brasil yang tinggal di Sao Paolo. Sebagai pendukung Brasil sejak bertahun-tahun lampau, saya ingin menyatakan dukungan saya pada timnas-nya.
“Marina, Goodluck ya buat Tim Brasil!” sapa saya di Yahoo Messenger.
“Thank you!”, balasnya cepat.
Ia lalu bertanya, “Eh, Indonesia punya tim sepakbola juga kah?”.
Entah mengapa, pertanyaan sederhana itu membuat saya gugup, “Mmm.. Iya, ada”.
“Bagaimana prestasi tim Indonesia? Kalian peringkat berapa di FIFA?”, tanyanya lagi.
“Wah, saya lupa. Sepertinya peringkat kami tidak bagus. Orang Indonesia tidak bisa main bola sih!”, jawab saya sekenanya.
Ia mencoba menghibur, “Ah, jangan begitu! Lalu apa olahraga paling popular di Indonesia?”.
Saya menjawab getir, “Yaa.. sepakbola”.
Ia tertawa, “Oke lah, saya harap tim Indonesia bisa punya banyak prestasi, dan bisa bertanding di piala dunia”.
Saya hanya tersenyum pahit. Dalam hati saya berkata; Itu mah sampai kiamat juga tidak akan kejadian!
Saya tentu tahu, Timnas Indonesia berada di urutan ke-137 dalam Daftar Peringkat Dunia FIFA yang dirilis April 2010 lalu. Jauh dibawah Vietnam (117) dan Thailand (106). Tapi masak saya mesti mengatakan itu ke dia? Malu lah! Saya lebih gila bola dari dia. Dulu, waktu kami sering jalan bareng di Paris, dia sempat heran dengan pengetahuan sepak bola saya. Saya hafal nama pemain Brasil yang bernaung di klub-klub Eropa. Hafal sejarah Timnas Brasil di Piala Dunia. Biasanya Marina hanya mengangguk-angguk, setiap kali saya bercerita dengan penuh semangat tentang sepak terjang pemain Brasil. Dalam hati dia mungkin berkata, “Kasihan amat ya orang ini. Wong saya yang asli Brasil biasa-biasa aja!”
Dulu Presiden SBY pernah bilang (atau ngeles?), kalau kita tidak perlu malu karena tidak bisa menghasilkan satu pun pemain hebat dari 200 juta warga Indonesia. Toh India dan Cina juga tidak punya pemain bola yang hebat. Beliau mungkin lupa, tidak seperti Indonesia, sepak bola bukan cabang olahraga yang populer di negara-negara tersebut. Lagipula Cina punya deretan prestasi di banyak cabang lain. Atlit-atlit mereka selalu mendominasi perolehan medali di Olimpiade atau Asian Games.
Malam menjelang pertandingan final antara Spanyol-Belanda, iseng-iseng saya nonton RCTI. Saya lihat Presiden SBY dan Menpora berbincang seru tentang Piala Dunia dalam sebuah siaran langsung. Dalam hati saya bertanya, kira-kira ada tidak ya, kepala negara lain di muka bumi ini, yang Timnas-nya tidak ikut Piala Dunia, tapi begitu semangat dan antusias membicarakan tim negara lain? Disiarkan secara langsung pula? Sang Menpora tidak kalah semangat. Dengan kumis lebat yang hampir masuk mulut, ia termonyong-monyong membicarakan kehebatan timnas Belanda. Ia bertukas bangga, “Asal anda tahu saja, ada 5-6 pemain Belanda yang keturunan Indonesia loh!”. Lalu ia melontarkan ide ‘cemerlang’ kepada Presiden, “Kita bisa data semua pemain-pemain dunia yang punya darah Indonesia, kita tawarkan, siapa tahu mereka mau main buat PSSI?”. Saya hampir keselek mendengarnya.
Saya bayangkan sang Menpora mendekati Bronckhorst, De Jong, Heitinga dan sejumlah pemain ternama yang ia klaim punya darah Indonesia. Dengan cuping kembang kempis ia berkata kepada mereka, “Meneer, nenek moyang anda kan orang Indonesia. Kira-kira anda mau tidak main untuk Timnas kami? Memang sekarang kami cuma berada di urutan 137 dunia, tidak punya prestasi apa-apa, organisasinya juga dipimpin sama mantan napi korupsi. Tapi kami butuh orang seperti anda, karena kami tidak mampu (dan tidak akan mampu) mencetak pemain-pemain kelas dunia. Gimana, mau ya? Hitung-hitung balas budi sama nenek moyang”. Si Bronckhorst dkk menatap senyum sang Menpora yang nyaris tertutup bulu-bulu di atas mulutnya. Mereka mengernyitkan dahi dan menjawab ketus, “Ya enggak lah!! Kami jadi hebat begini kan karena didikan sepakbola negara kami, Belanda. Enak aja situ mau metik hasil tapi gak mau nanem benih. Kalo situ gak bisa mendidik pemain, ya nggak usah main bola!”.
Kasihan amat Presiden dan Menpora Indonesia yang (seperti saya dan seluruh rakyat Indonesia) hanya bisa menyoraki negara lain di Piala Dunia. Bedanya, saya tidak punya mimpi aneh-aneh, seperti mengkhayal Timnas Indonesia ikut main di PD, atau ada pemain dunia yang ujug-ujug ingin gabung ke PSSI. Saya tentu sedih (dan malu) dengan prestasi Timnas Indonesia. Tapi lebih sedih (dan malu) mendengar mimpi dan khayalan pejabat negara saya. Dari mulai mau jadi tuan rumah Piala Dunia, sampe mengkhayal Bronckhorst mau masuk PSSI. Mimpi sih boleh-boleh saja, Pak. Tapi mimpinya yang bener dong! Silahkan anda bermimpi untuk memperbaiki pembinaan sepakbola di Indonesia, bukannya mimpi mencuri pemain hebat hasil binaan negara lain!
Saya yakin, sampai 100 tahun ke depan, orang Indonesia cuma bisa teriak-teriak di depan layar, nonton bareng di kafe-kafe sambil sambil memakai seragam Timnas negara lain, lalu ngetik status di facebook atau twitter menyemangati negara lain. Kalo punya duit lebih, hasil kerja keras atau korupsi, bisa lah gabung sama supporter-suporter negara peserta Piala Dunia, hitung-hitung nambah pemasukan devisa negara tuan rumah. Yah, orang Indonesia memang tidak bisa main dan ngurus bola!
sumber : http://bolaria.com/baca/2010/07/13/orang-indonesia-tidak-bisa-main-bola-dan-mengurus-bola.html Baca selengkapnya JIMMY D SAS: Maret 2011
Langganan:
Postingan (Atom)