6 Agustus 1979, sekitar 15 ribu penonton stadion Omaya, Jepang gemuruh ketika Maradona kembali membobol gawang kesebelasan Indonesia, Sampai akhir wasit Rolando Fusco dari Canada meniup peluit panjang, skor 5 – 0 untuk Argentina. Para pemain Indonesia juga tak peduli atau tertunduk lesu. Mereka justru berebutan berfoto bareng dengan Maradona. Endang Tirtana, Didik Darmadi, Bambang Nurdiansyah, Mundari Karya, yang kelak menjadi tulang punggung PSSI, justru memamerkan wajah wajah sumringah berfoto dengan sang maestro – Diego Maradona.
Sucipto Suntoro setelah bersalaman dengan pelatih Argentina - Cesar Louis Menotti, membiarkan anak anak asuhnya saling rebutan foto bareng. Youth World Cup atau Piala Dunia Junior yang diselenggarakan di Jepang memang cukup memalukan bagi pelatih yang dijuluki ‘ Gareng ‘ itu. Selain digilas Argentina, dalam babak penyisihan group juga di gunduli Polandia dan Yugoslavia, masing masing 6 – 0 dan 5 – 0.
Waktu itu nama Maradona sudah mulai terkenal, disebut sebut sebagai pesepak bola paling berbakat di muka bumi. Pelatih Cesar Louis Menotti mencoretnya dari skuad Argentina di piala dunia 1978 dengan alasan masih terlalu muda – saat itu 18 tahun. Tunggu, masih ada waktu. Tak perduli dengan air mata sang bocah sekaligus menampik permintaan publik yang meminta si anak ajaib bergabung dengan timnas Argentina. Ia memang belum terlalu percaya, selain masih ada bomber bomber mematikan seperti Mario Kempes dan Luque di skuadnya.
Selalu ada masa sulit bagi Maradona untuk memulai startnya di timnas nya sendiri. Tak selalu mulus. Dalam skuad 1982, dalam usia yang masih relatif muda - 22 tahun, sudah menjadi dirigen tim tango, walau sebagian besar masih dihuni skuad 1978, seperti Pasarella, Ardiles dan Kempes.
Ia memang ajaib. Simon Tahamata, pemain Ayax Amsterdam berdarah ambon mengenangnya dalam pertandingan di Zurich ketika ia memperkuat team Eropa melawan team Amerika latin yang diperkuat Maradona.
“ Saya sudah melihat Johan Cruyff dan Pele memainkan bola. Namun mereka tidak bisa seperti Maradona yang dengan mudahnya bisa menggiring bola melewati pemain pemain berkelas lainnya “
Pertandingan pembukaan sebagai juara bertahan antara Argentina melawan Belgia dalam Piala Dunia 1982 di Spanyol menunjukan beban itu terlalu berat bagi Maradona, ketika seluruh dunia memandangnya.
Maradona memang sudah menunjukan sebagai roh timnya. Namun ada satu yang dilupakan, yakni pengalaman dan jam terbang dalam momen akbar seperti Piala Dunia. Belgia yang dipimpin Eric Gerets bisa mementahkan serangan serangan Argentina. Maradona demikian mudahnya frustasi saat tendangan tendangan dapat diblok oleh Jean Marie Pfaf, yang saat itu juga disebut sebut kiper terbaik di Eropa. Hingga gol serangan balik dari Van der Berg membuat Argentina akhirnya tunduk 1- 0 hingga peluit akhir.
Ini belum berakhir. Dalam pertandingan penentuan kelak, melawan rival abadinya Brazil. Tim Argentina dibuat frustasi dengan akrobatik para pemain pemain Brazil seperti Zico yang dijuluki Pele Putih lalu Socrates, Serginho, Junior dan Falcao. Hasil akhir Argentina keok 3 – 1. Maradona , bermain kasar dan tak bisa mengontrol emosinya hingga diusir keluar.
Kartu Merah buat Maradona menghiasi headline pemberitaan. Lebih banyak berita yang menghiasi ini daripada kekalahan Argentina sendiri.
Sekali lagi pengalaman menempa Maradona. Piala Dunia 1986 di Mexico adalah pembuktiannya sebagai pesepak bola besar. Terlepas dari gol ‘ tangan Tuhan ‘, namun gol selanjutnya ke gawang Inggris menunjukan apa yang dikatakan Simon Tahamata beberapa tahun silam benar. Sekian banyak pemain Inggris seperti anak kemarin sore, dengan mudah dilewati Maradona.
Dia menjadi musuh publik dengan segala kontroversinya. Hanya Maradona yang bisa mengemasnya menjadi kesombongan. Dalam Piala Dunia 1990, sekali lagi Argentina tumbang di partai pembukaan melawan Kamerun. Walau bisa melaju sampai final dan tak mampu mempertahankan gelarnya.
Setelah terpuruk dalam dunia narkoba, apakah Maradona bisa bangkit ? Jika dulu dengan kaki ajaibnya apakah ada strategi dan racikan ajaibnya bisa membuat tim Tango menjadi seperti masa masa kejayaannya silam. Tak mustahil kalau melihat materi yang dimiliki sekarang. Siapa bisa meragukan Messi, Higuain , Tevez , Walter Samuel dan lain lain yang malang melintang di liga kelas satu Eropa. Pertanyaannya, apakah Maradona bisa ?
Sejarah membuktikan, beberapa pelatih besar bukan berasal dari pemain sepak bola terkenal. Bahkan sebaliknya, karena menjadi pelatih bukan melulu karena pengalaman di lapangan hijau. Ia juga harus memiliki strategi, visi dan dihormati pemainnya. Strategi Maradona untuk mencoba lebih dekat ke pemain – seperti teman, justru membuat berantakan. Ia terkesan membiarkan pada maunya pemain. Argentina bermain tanpa visi, terseok seok dan nyaris tersingkir di babak penyisihan.
Ia lupa bahwa pemain pemain topnya terbiasa dalam pola, bahkan tangan besi pelatih di klubnya. Mereka memiliki respek dan tak perlu dekat seperti teman terhadap pelatihnya. Mereka hanya pion pion yang terampil yang menjalankan instruksi pelatih.
Sementara Maradona tak pernah bisa mengontrol para pemainnya, karena ia sendiri tak bisa mengontrol emosi terhadap media dan dirinya sendiri. Ia terlihat sebagai anak kecil yang kegirangan – lalu melakukan body diving di lapangan, ketika kesebelasannya mencetak gol.
Semalam, dalam pertandingan melawan Nigeria di Piala Dunia 2010. Walau menang tipis, tetap saja Argentina tidak begitu mumpuni untuk dimasukan sebagai kandidat juara. Trio Messi, Higuain dan Tevez tak punya taji. Bahkan terkesan sendiri sendiri. Sementara Veron yang sudah gaek, cepat kehabisan nafas untuk menyuplai bola bola untuk penyerangnya.
Dalam karir pelatihnya, rupanya Maradona memang harus berkaca dengan karirnya dulu sebagai pemain. Terbiasa dalam kawah candradimuka pertandingan pertandingan berat. Timbul tenggelam sebelum menjadi pemain besar.
Dia memang pemain besar. Namun sebagai pelatih, saya meragukan itu. Dia akan langsung membawa Argentina juara ? ini hil yang mustahal kata almarhum pelawak Timbul.
0 komentar:
Posting Komentar