27 Maret 2011

Kontroversi dan Fair Play





Bagaimanakah bentuk fair play? Bisa beragam jawabannya. Tapi masalahnya, di jaman sepakbola yang mengindustri dan makin modern, fair play menjadi sangat bernilai jika tak ingin disebut langka. Ironisnya, sebelum laga digelar, selalu muncul empat bocah dengan membawa bendera fair play.
Paolo Di Canio patut menjadi salah satu sosok yang pantas disebut jika berbicara mengenai fair play. Padahal dia bekas pemain yang level emosi dan kontroversialnya sangat tinggi.
Pada tahun 2001, alih-alih mencetak gol untuk West Ham United karena gawang Everton sudah kosong, dia justru membuang bola. Di Canio merasa harus menghentikan laga lantaran kiper Everton, Paul Gerrard, terkapar lantaran cedera meski bukan pemain Italia itu penyebabnya.
Yang terbaru, skuad Wigan Athletic sepakat mengganti biaya tiket suporter yang ikut ke White Hart Lane ketika tim dibantai 9-1 oleh Tottenham Hotspur.
Kabar ini disambut sangat ramai (oleh blogger sepakbola), minimal di Inggris. Levelnya sama dengan reaksi pada tindakan Di Canio. Inilah wujud fair play. Ini sebuah sikap profesional. Sebuah loyalitas, sebuah tanggung jawab pada suporter yang rela pergi jauh-jauh dan harus melihat timnya dipermalukan.
Lalu apakah Thierry Henry yang melakukan handball dan tetap meneruskan permainan bukan pemain dengan prinsip fair play? Tergantung dari sudut mana melihatnya. Pemain Prancis dan Barcelona ini bukan yang pertama. Yang paling terkenal adalah Diego Maradona dengan julukan "Tangan Tuhan" walaupun saya sejak dulu tak suka dengan istilah itu -- seperti juga Sindhunata menulisnya di Kompas.
Kadar tindakan Henry juga tak lebih baik dari mereka yang melakukan diving agar timnya mendapat hadiah penalti. Silahkan hitung berapa banyak pemain yang berhasil melakukan itu. Ada pula pertanyaan mengapa Henry tidak menghentikan laga setelah melakukan handball.
Dia tak mungkin melakukannya, seperti juga pemain lainnya. Secara alamiah, mungkin di bawah alam sadar, si pemain akan meneruskan permainan walaupun tahu telah melakukan pelanggaran. Dia adalah pemain. Soal menghentikan atau meneruskan laga, di sana ada wasit yang memang berperan dan berkapasitas untuk itu.
Secara normal, wasit Martin Hansson yang mengadili Prancis vs Republik Irlandia memang tidak bekerja sesuai aturan. Wasit Swedia itu berdalih pandangan dirinya dan sang asisten terhalang oleh menumpuknya pemain. Tetapi seharusnya hal itu tak terjadi. Apapun situasinya, wasit dituntut bekerja optimal.
Namun wasit hanyalah manusia. Punya keterbatasan. Tak berbeda dengan pemain itu sendiri. Kontroversi sebuah pertandingan sama tuanya dengan permainan sepakbola itu sendiri.
Malang bagi Irlandia karena tindakan Henry, keputusan Hansson dan hasil pertandingan membuat mereka harus mengubur impian untuk lolos ke Piala Dunia 2010. Pahit, kecewa dan marah menjadi satu.
Tapi saya tetap berpegang pada prinsip bahwa kontroversial terjadi hanya dalam satu titik di sebuah pertandingan. Mengapa misalnya Irlandia tak berupaya mencetak gol lebih banyak? Mengapa Robbie Keane tidak memanfaatkan peluang emasnya di menit awal? Hasil sebuah laga tak hanya bergantung pada satu insiden, walau memang kadang justru insiden terkait bisa meruntuhkan mental dan mengubah peta permainan. Apa boleh buat.
Dalam kasus Prancis vs Irlandia, solusi tanding ulang (rematch) menjadi adil. Henry pun mendukungnya. Saya juga setuju. Tetapi prakteknya tak semudah yang diinginkan. Ini terkait dengan jadwal internasional yang sudah libur panjang hingga bulan Maret nanti. Jadwal klub semakin padat. Belum lagi sikap para klub tempat para pemain kedua negara bernaung. Apabila rematch dilakukan, maka antrian dari negara lain yang gagal di masa lalu akibat keputusan kontroversial juga bisa sangat panjang. Sungguh bukan sinyalemen yang bagus. Bisa merusak tatanan karena hal itu tak ada dalam aturan resmi FIFA atau UEFA.
Saya lebih setuju pada pernyataan bek Prancis Sebastian Squillaci. Sebuah kontroversi tak pernah bisa ditolak. Yang terjadi, apakah itu menguntungkan atau merugikan anda. Kali ini kontroversi menguntungkan Prancis. Tetapi di lain waktu ada kalanya bakal merugikan Prancis. Demikian seterusnya.
Sebuah ungkapan yang sungguh bijaksana.

0 komentar:

Posting Komentar