27 Maret 2011
Taktik Mourinho
Saya nyaris tak pernah tertarik untuk masuk ke dalam ranah tehnik dan strategi permainan sepakbola. Pertama, tidak paham. Kedua, takut untuk menjadi orang sok tahu yang cuma bisa bicara...eh menulis.
Tetapi melihat taktik Jose Mourinho di Inter Milan, saya tak tahan untuk menulisnya. Sejak awal musim, saya mulai mengamati pola permainan racikan sosok kontroversial ini.
Mengapa Inter begitu sulit dikalahkan di Serie A? Itu adalah awal mula rasa penasaran saya -- terlepas ada isu sang owner Massimo Moratti diduga menjadi pemain tunggal dalam skandal suap jilid kedua di Italia.
Mourinho menganut paham "yang penting menang". Dia tak peduli apakah timnya main cantik atau tidak selama bisa meraih kemenangan. Itu sebabnya pria Portugal ini menjawab dengan cuek dan ugal-ugalan ketika Inter menang telak 4-0 di satu laga Serie A.
"I don't care you score one goal or more. The most important thing is winning the game. As simple as that," katanya dalam jumpa pers kala itu -- sebelum dia melakukan "perang dingin" dengan pers Italia.
Filosofi "yang penting menang" itu sejalan dengan para Italiano. Tak peduli bagaimana caranya.
Ketika Mourinho mengantar Chelsea juara Liga Inggris dua kali (2004 & 2005), ada satu kunci nyata. Pertahanan kokoh yang sulit ditembus. Lawan menggedor sepanjang laga, gol tak didapat. Tapi Chelsea hanya sesekali menyerang dan bisa mendapatkan satu gol untuk kemudian menang dengan skor tipis 1-0, 2-1 atau 3-2. Jarang ada skor mencolok.
Bersama Inter, hal itu terjadi pula meski tidak sama persis.
Duet Lucio dan Walter Samuel di jantung pertahanan awalnya tak terlalu menjanjikan. Apalagi dengan tambahan faktor cedera dan akumulasi kartu kuning. Namun lambat laun, koordinasi Brasil-Argentina itu mulai memberi hasil. Namun fokus Mourinho sebenarnya bukan semata pertahanan belakang, tetapi lini tengah sebagai peredam awal serangan lawan.
Itu sebabnya dia mengandalkan Esteban Cambiasso dan Thiago Motta, serta sesekali Dejan Stankovic yang aslinya adalah gelandang serang digunakan sebagai gelandang bertahan atau jangkar. Di lini tengah inilah, Mourinho menerapkan stragei pertahanan zona dan bukan man to man marking. Kendati demikian, mengawal individu bak paspampres pun mungkin dilakukan. Tergantung situasi.
Coba perhatikan gambar analisa zona marking ala Mourinho yang dibuat situs Zonal Marking yang saya sertakan di tulisan ini.
Kekokohan lini tengah sebagai benteng awal pertahanan mendapat momentum ketika melawan AC Milan di Derby Milano. Terlepas dari belum pengalamnnya pelatih Leonardo di Milan, Mourinho mampu mendikte Milan agar mau memainkan bola lambung yang sudah pasti dengan mudah dijinakkan Lucio dan Samuel. Milan tak mungkin menyerang lewat tengah karena lebih dulu dihadang Cambiasso, Motta, serta due bek sayap Javier Zanetti dan Maicon yang justru lebih sering beroperasi di lini tengah.
Prinsip memenuhi sektor tengah dan menghambat serangan lawan di sana nampaknya menjadi trend baru taktik Mourinho.
Itu yang terjadi pada saat mengalahkan Barcelona kemarin. Lionel Messi dikunci sedemikian rupa. Xavi Hernandez dibuat tak bisa mengalirkan bola dengan nyaman. Akibatnya Zlatan Ibrahimovic sebagai penyerang tunggal di depan terisolasi. Mourinho memutus jaringan antara depan dan tengah. Messi dan Xavi bahkan harus turun ke bawah untuk mendapatkan bola, meski tetap macet untuk mengalirkannya ke depan.
Mungkin Mourinho sudah menonton video rekaman bagaimana Rubin Kazan mengalahkan Barcelona di babak grup lalu. Pelatih Rubin Kazan, Kurban Berdyev, mengatakan Xavi dan Andres Iniesta -- yang kemarin absen bermain -- jarang turun ke bawah membantu pertahanan.
Ini khas tim Spanyol. Para gelandang selalu "membiarkan" empat pemain bertahan menahan gempuran lawan sendirian. Saat melawan Inter, lini tengah Barca benar-benar "mati". Menyerang tak bisa, bertahan pun lumpuh.
Ketika sudah berhasil mematikan daya ofensif Barcelona, renacana Mourinho untuk membangun kekuatan serangan menjadi lebih mudah. Sebenarnya ini sudah dirancang sejak putaran kedua musim ini. Masuknya Goran Pandev dan Wesley Sneijder membuat rencana Mourinho bisa berjalan sempurna.
Pandev ditempatkan melebar di kiri, Samuel Eto'o lebih ke kanan dan Milito di tengah. Sedangkan Sneijder dibiarkan menjadi hantu untuk bergerak bebas ke manapun. Itu sebabnya pemain Belanda ini bisa dengan bebas berdiri di sisi kiri pertahanan Barcelona untuk mencetak gol ke gawang Victor Valdes.
Bagaimana efektivitas serangan ini bekerja sebenarnya sudah terlihat saat Inter memukul Chelsea. Serangan bekas timnya itu dibuat macet di tengah sehingga Didier Drogba hanya kebanyakan berlari. Di putaran kedua musim ini, Mourinho benar-benar hanya mengandalkan empat pemain depan tersebut. Tak ada lagi Cambiasso sering beredar hingga kotak penalti lawan, padahal dulu dia punya mobilitas luas.
Pertanyaan berikutnya, apakah ini akan bisa meredam Barcelona di Nou Camp nanti? Dalam sepakbola tak ada yang pasti karena bukan matematika. Tapi dari satu-dua laga kemarin, sementara ini saya menilai Mourinho sudah semakin matang sebagai ahli strategi. Bukan strategi yang cantik, tapi efektif. Demi kemenangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar