suatu cerita ttg ayah yg mengajak ank nya menonton bola
Ayah tidak henti-hentinya membicarakan kemenangan Denmark di final Piala Eropa 1992 kepada anak sulungnya yang masih berusia 5 tahun. Dua gol dari John Jensen dan Kim Vilfort membawa Danish Dynamite menaklukkan Jerman padahal Denmark berstatus sebagai tim pengganti di kejuaraan itu. Yugoslavia dijatuhi sanksi tak boleh bermain karena perang yang berkecamuk di negara Balkan tersebut.
Sampai 2 tahun berikutnya ayah masih sering menggumamkan prestasi mengejutkan Denmark itu hingga Piala Dunia 1994 tiba. Si tim kejutan di Swedia 1992, Denmark, tidak lolos ke Piala Dunia 1994 dan ayah mengatakan bagaimana menjadi juara Eropa tidak berarti lolos ke Piala Dunia. Perkenalan pertama saya dengan dogma "Bola itu bundar".
Hari itu hari Minggu, ayah membawa saya ke Gramedia. Ia membelikan buku panduan Piala Dunia, entah siapa penerbitnya, tapi kala itu buku panduan Piala Dunia masih bisa dihitung jari, tidak berserak seperti sekarang. Sampulnya berwarna dominan biru tua dengan merah di tepian, warna yang sangat Amerika, tuan rumah kejuaraan akbar tahun 1994 itu.
Tidak jelas mengapa ayah bersemangat sekali membeli buku panduan tersebut. Mungkin ia ingin mendidik saya untuk menggemari sepakbola, olahraga yang menjadi tontonan favoritnya sejak SMA. Tidak ada siaran langsung Piala Dunia di Pematang Siantar, tempatnya sekolah. Ia baru bisa menyaksikan aksi Johan Cryuff di Piala Dunia 1974 2 bulan sesudah turnamen itu digelar. Itu pun menontonnya di bioskop karena rupanya rekaman pertandingan sepakbola laku diputar sebagai tontonan meski tidak aktual.
Saya tidak ingat berapa lama waktu yang diperlukan, tapi saya ingat betul buku panduan tersebut habis saya baca di hari pertama saya memilikinya. Saya tergila-gila dengan sejarah sejak kecil dan berkenalan dengan sejarah sepakbola adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Saya berkenalan dengan nama-nama asing yang terlihat begitu menawan dalam buku tersebut. Ayah sudah pernah berkisah tentang Maradona, Pele, Zico, Schillaci, dan Lineker sebelumnya, tapi saya baru bertemu dengan Puskas, Garrincha, Fontaine, Masopust.
Pada hari pertama Piala Dunia, ayah pulang dan membawa album stiker Piala Dunia terbitan Panini. Sebagai seorang bocah yang dijejali dengan tontonan Amerika sejak kecil, secara naluriah saya bersimpati pada tim Amerika. Apalagi saat saya tahu bahwa orang Amerika tidak bisa main sepakbola dan secara umum adalah kaum paria dalam olahraga ini.
Ayah duduk di sebelah saya saat Amerika Serikat menjamu Swiss dalam partai perdana Piala Dunia 1994. Saya bersorak-sorai saat Eric Wynalda mencetak gol yang menyamakan kedudukan 1-1. Sejak saya melihatnya di album stiker Panini tersebut, saya langsung tertarik pada Wynalda untuk alasan yang tidak jelas. Mungkin karena wajahnya mirip dengan aktor pria ganteng yang sering saya saksikan dalam serial TV Amerika. Saya masih ingat bagaimana saya dan ayah beserta adik mengejek wajah kiper Swiss, Marco Pascolo, karena terlihat seperti orang kurang tidur, ngantuk. Padahal wajahnya memang begitu.
Makhluk yang paling membuat saya penasaran di Piala Dunia 1994 adalah Diego Maradona. Ayah memujanya setinggi langit. Ia mengisahkan dengan semangat bagaimana Maradona menari-nari melewati pemain Inggris tahun 1986. Tak lupa juga ia ceritakan bagaimana Si Boncel mendorong bola dengan tangan pada pertandingan yang sama. Ayah tidak lupa menambahkan, "Ia berdosa saat bilang itu tangan Tuhan".
Saya hanya sekali menyaksikan Maradona kala itu dan sejujurnya tidak begitu terkesan. Mungkin ia sudah lewat masa jaya. Si Tangan Tuhan akhirnya dipulangkan dari turnamen karena terbukti mengonsumsi obat.
Sebagai seorang anak kecil yang mudah tertarik secara visual, saya menikmati sekali menonton Nigeria. Yang paling saya tunggu adalah selebrasi gol karena biasanya Daniel Amokachi akan melakukan salto di penjuru lapangan.
Ayah mengatakan bahwa Rumania dan Gheorghe Hagi adalah fenomena di Piala Dunia tersebut. Hagi sang maestro memimpin negaranya hingga perempat-final, termasuk mengalahkan Argentina pada babak sebelumnya. Saya masih terlalu kecil untuk memahami bahwa seorang playmaker seperti Hagi adalah aset berharga. Saya masih terlalu belia untuk mengapresiasi umpan terukur. Yang ingin saya lihat hanyalah orang-orang yang jumpalitan usai mencetak gol.
Jagoan saya, Amerika Serikat, tersingkir dari turnamen karena kalah dari Brazil. Saya tertawa geli melihat selebrasi tarian menggendong bayi dari Bebeto, si Manusia Angin. Selama 3 hari ke depan saya tak hentinya menirukan tarian tersebut. Lucunya, baru esok harinya saya tahu arti dari selebrasi tersebut. Saya kira Bebeto hanya bertingkah jenaka dengan meniru gerakan pemain kabaret.
Saya kecewa karena aksi salto tidak bisa lagi saya saksikan setelah Nigeria disingkirkan Italia. Hal ini membuat saya tidak lagi punya gacoan padahal turnamen baru sampai babak perempat-final. Ayah lalu bercerita tentang kehebatan Hristo Stoichkov dan Emil Kostadinov, dua nama yang saya lihat hilir mudik di surat kabar saat itu, tapi tidak begitu saya perhatikan. Saya tidak begitu peduli pada orang-orang yang namanya sulit saya lafalkan.
Saya tahu Jerman adalah tim kuat yang berstatus juara bertahan maka saya tidak begitu antusias saat ayah mengajak saya menonton Tim Panser melawan Bulgaria di babak 8 besar. Yang terjadi adalah sebaliknya. Satu gol Stoichkov dan satu sundulan mematikan dari pemain botak, Yordan Letchkov menjungkirbalikkan prediksi. Sang unggulan pun rontok. Lagi-lagi saya belajar tentang kehebatan orang-orang underdog, mereka yang tidak dianggap, mereka yang diremehkan.
Karena alasan yang tidak bisa diingat, saya luput menonton babak semifinal. Tapi saya sempat menonton perebutan tempat ketiga antara Swedia melawan Bulgaria yang dimenangkan negara Skandinavia 4-0. Ayah gemar sekali dengan striker Swedia, Tomas Brolin, sedangkan saya tidak. Alasan saya sangat konyol, saya tidak suka bentuk hidung Brolin.
Final Piala Dunia 1994 digelar pada hari pertama tahun ajaran baru. Saya baru naik kelas 2 SD. Final digelar subuh waktu Jakarta dan saya memaksa diri bangun untuk menonton. Saya ingat ayah tidak bersama saya kala itu, nampaknya ia sedang dinas keluar kota. Untuk ukuran anak kecil sekalipun saya bisa merasakan bahwa final tersebut membosankan. Saya menjagokan Italia tanpa alasan spesifik. Saya lebih suka warna biru dibanding kuning, lagipula semua orang nampaknya mendukung Brazil, biarlah saya mendukung mereka yang tidak didukung.
Tidak ada gol yang tercipta selama 120 menit sehingga pertandingan harus diselesaikan dengan adu penalti. Saya terdiam sejenak sambil menganga usai tendangan penalti Roberto Baggio yang terbang sampai Meksiko itu. Brazil memenangi Piala Dunia yang pertama saya tonton. Saya sama sekali tidak tertarik menyaksikan selebrasi mereka meski mereka menari-nari dengan irama yang belakangan saya ketahui bernama Samba. Bagi saya orang-orang berkulit legam dengan lompatan akrobatik seperti Nigeria lebih menarik.
Itu adalah awal perkenalan saya dengan sepakbola, saat ayah membaptis saya dengan Piala Dunia. Hingga saat ini kami selalu berseberangan dalam banyak hal dan perspektif kami tidak selalu sama. Tapi kami dapat duduk bersebelahan menonton sepakbola.
Lazimnya anak kecil, komik adalah bacaan wajib. Ayah menentangnya dan tidak mau membelikan dengan alasan tidak mencerdaskan. Ayah menginginkan saya membaca buku-buku sains. Ayah juga menentang saya menonton serial-serial TV dengan alasan serupa. Tapi hingga saat ini tidak pernah mengusik jika saya hendak menonton sepakbola.
Akhir-akhir ini ayah tidak begitu sering menonton siaran sepakbola meskipun ia memasang TV berlangganan di rumah. Ia lebih memilih tidur agar dapat bangun pagi dengan segar.
Masalah timbul karena siaran langsung Piala Dunia tidak bisa dinikmati lewat TV berlangganan. Saya mengutarakannya pada ayah.
Kemarin, sehari menjelang Piala Dunia, ia pulang dari kantor dengan menenteng antena terestrial.........
Sumber: http://bolaria.com/baca/2010/06/11/saat-ayah-membaptis-saya-dengan-piala-dunia.html
0 komentar:
Posting Komentar