27 Maret 2011

Pemain atau Preman?





Kasus pengeroyokan terhadap suporter Sriwijaya FC Palembang yang dilakukan oleh empat pemain tim itu sungguh memprihatinkan. Ini kasus yang (mungkin) baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Ironisnya, keempat pemain itu berkaliber tim nasional. Bahkan salah seorang dari mereka adalah kapten tim nasional Indonesia.
Mereka bereaksi negatif lantaran merasa terhina oleh ocehan oknum suporter yang kecewa melihat Sriwijaya tampil buruk.
Di liga yang sudah mapan, pemain terlibat keributan bukan hal langka. Tapi dengan suporter tim sendiri? Rasanya sangat jarang.
Yang pernah terjadi adalah bentrokan dengan suporter lawan. Misalnya kasus tendangan kung-fu Eric Cantona ketika masih memperkuat Manchester United terhadap suporter Crystal Palace 15 tahun lalu.
Di Italia, suporter justru biasa "menyerang" tim sebagai reaksi protes perjalanan tim yang buruk. Biasanya mereka menyerbu markas latihan tim atau melempari bis tim dengan telur busuk, tomat dan berbagai benda lain.
Suporter di Italia biasanya menyerbu markas latihan dalam rangka ingin bicara langsung, entah kepada kapten tim atau pelatih. Mereka muak pada tim yang terus menerus kalah.
Sementara di Inggris, beberapa pemain sempat terlibat keributan di bar. Tapi itu terjadi di luar konteks sepakbola. Perkelahian terjadi karena situasi mabuk. Mungkin di sini dikenal istilah "senggol bacok" :D
Inilah yang sepatutnya diketahui pemain pro di Indonesia. Profesi mereka memang masih baru, secara resmi belum diakui masyarakat. Tugas mereka adalah menjawab tudingan atau hinaan fans dengan berlatih keras dan bermain lebih baik di lapangan. Bukan meresponnya dengan bogem mentah, keroyokan pula hingga si suporter masuk rumah sakit!
Apa yang dilakukan suporter Sriwijaya juga tak pada tempatnya. Mereka melakukannya di luar stadion dan bukan saat pertandingan. Tak perlu kita meniru yang dilakukan suporter di Italia. Apalagi jika kita menuntut tim berprestasi kelewat tinggi. Padahal level tim kita masih kelas sekian di Asia.
Tindakan mencemooh tim sendiri justru merugikan. Tingginya beban hanya membuat permainan tim tak berkembang. Manajer gaek Sir Alex Ferguson pernah mengatakan budaya penonton Inggris yang gemar membunyikan suara "huuuu" pada pemain tertentu membuat permainan Inggris tak berkembang.
Tugas suporter adalah memotivasi timnya, bukan justru memberangusnya.
Suporter Arema Indonesia punya lirik lagu yang menurut saya bagus untuk memotivasi pemain: "Arema bukan putri Solo..." Maksudnya para pemain Arema tak boleh bermain lemah gemulai karena mereka adalah atlet yang digembleng keras dan dibayar sehingga harus bermain giat.
Bila sudah mendengar lagu seperti ini, tinggal para pemain menjawabnya di lapangan. Bukan lagi menggunakan cara-cara preman. Tunjukkan bahwa Anda pemain profesional.

0 komentar:

Posting Komentar